Bongkah.id – Penggunaan minyak babi kembali menjadi sorotan publik setelah kasus Ayam Goreng Widuran di Solo terungkap menggunakan minyak babi untuk menggoreng kremesan.
Meski dianggap meningkatkan cita rasa makanan, minyak babi ternyata menyimpan sejumlah risiko, baik dari sisi kesehatan maupun kepercayaan konsumen.
Apa Itu Minyak Babi?
Minyak babi, atau lard, merupakan lemak murni yang diekstraksi dari bagian tubuh babi seperti perut, bahu, dan bokong. Minyak ini sering digunakan dalam bentuk padat berwarna putih krem. Meski tampak netral, penggunaannya dalam makanan patut diwaspadai.
Ciri-Ciri Makanan yang Mengandung Minyak Babi
Mengutip Huffpost, makanan yang digoreng menggunakan minyak babi biasanya memiliki tekstur lebih renyah dan aroma khas daging babi. Makanan yang dipanggang dengan minyak ini juga terlihat lebih bersisik dan cenderung berminyak.
Namun, aroma dan tekstur tersebut tidak selalu mudah dikenali, sehingga banyak konsumen tidak menyadari bahwa mereka telah mengonsumsi minyak babi.
Bahaya Kesehatan Minyak Babi
Meski kandungan lemak jenuhnya lebih rendah dibandingkan mentega, minyak babi tetap mengandung lemak jenuh dan lemak trans dalam kadar yang cukup tinggi. Konsumsi berlebihan dapat memicu peningkatan kadar kolesterol, yang berisiko menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Menurut situs Martha Stewart, minyak babi bisa menjadi pilihan “lebih baik” dibanding lemak lainnya dalam jumlah kecil. Namun, bila tidak dikendalikan, penggunaannya bisa berdampak negatif bagi kesehatan jangka panjang.
Risiko Etika dan Kepercayaan Konsumen
Selain risiko kesehatan, penggunaan minyak babi juga menimbulkan masalah serius dari sisi kehalalan dan kepercayaan konsumen. Banyak konsumen Muslim dan vegetarian yang menolak produk turunan babi. Sayangnya, tidak semua penjual mencantumkan dengan jelas bahan yang digunakan, sehingga dapat menimbulkan pelanggaran etika dan kepercayaan publik.
Kesimpulan
Minyak babi bukan sekadar bahan dapur biasa. Di balik rasa gurih yang ditawarkan, tersimpan risiko kesehatan serta potensi pelanggaran terhadap prinsip agama dan keyakinan konsumen.
Karena itu, penting bagi pelaku usaha kuliner untuk transparan dalam penggunaan bahan dan bagi konsumen untuk lebih berhati-hati dalam memilih makanan. (sip)