Arief Supriyono ST SH SE MM, Ketua BPJS Watch Jatim

bongkah.id – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 yang mengubah sistem pelayanan kesehatan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuai penolakan dari BPJS Watch Jawa Timur.

Salah satu perubahan signifikan dalam peraturan tersebut adalah penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), yang bertujuan menyatukan kualitas dan kenyamanan pelayanan rawat inap di rumah sakit, agar dapat dirasakan setara oleh peserta JKN tanpa diskriminasi.

ads

Arief Supriyono ST SH SE MM, Ketua BPJS Watch Jawa Timur, menilai meski Kementerian Kesehatan telah menetapkan standarisasi ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 di rumah sakit, implementasinya di lapangan masih sangat tidak merata.

“Penerapan KRIS di lapangan masih jauh dari harapan. Sebaiknya BPJS tidak terburu menerapkan KRIS,” ungkap Arief dalam konferensi pers, Rabu (17/12/2025).

Arief menjelaskan, banyak rumah sakit, terutama yang berada di luar Jawa, belum siap untuk memenuhi 12 kriteria KRIS. Salah satu masalah utama adalah keterbatasan jumlah tempat tidur yang memadai sesuai standar.

Sebagai contoh, ruang rawat inap kelas 1, yang seharusnya memiliki satu tempat tidur per ruang, masih banyak yang berbagi dua tempat tidur dalam satu ruang. Hal serupa terjadi pada ruang kelas 2 dan 3, di mana sering kali ruangannya terlalu sempit dan fasilitasnya tidak memadai.

“Implementasi KRIS berisiko membatasi akses peserta JKN, terutama di daerah-daerah yang rumah sakitnya belum siap memenuhi standar KRIS,” kata Arief.

Arief menambahkan, perubahan sistem iuran yang akan diterapkan dalam KRIS berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di kalangan peserta, khususnya mereka yang sebelumnya menikmati layanan kelas 1 dan 2, yang tarifnya diperkirakan akan turun, sementara iuran kelas 3 akan meningkat.

BPJS Watch mengusulkan agar pemerintah tidak terburu-buru menerapkan KRIS, tetapi lebih memprioritaskan pemerataan infrastruktur dan fasilitas rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama di wilayah luar Jawa yang masih jauh dari standar pelayanan kesehatan yang diharapkan.

Menurut Arief, langkah tersebut lebih tepat untuk menjamin pemerataan akses kesehatan yang merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Saya setuju, jika tetap menggunakan sistem kelas BPJS yang sekarang, itu adalah keputusan yang bijak, terutama bagi mereka yang sudah merasa nyaman dengan fasilitas dan layanan yang diterima,” ungkap Arief.

Meski niat pemerintah untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang lebih adil dan merata melalui KRIS patut diapresiasi, tantangan terbesar yang masih dihadapi adalah ketimpangan infrastruktur kesehatan di berbagai daerah.

Krisis fasilitas, terutama rumah sakit yang belum siap memenuhi standar KRIS, menjadi isu yang sangat krusial untuk segera diatasi.

Pemerataan pembangunan fasilitas kesehatan serta peningkatan kapasitas rumah sakit di luar Jawa harus menjadi prioritas utama agar program ini dapat berjalan dengan sukses dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh peserta JKN. (anto)

14

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini