bongkah.id – Kepolisian Resor (Polres) Jember menangkap empat (4) pelaku aksi premanisme. Saat beraksi keempatnya menyaru sebagai wartawan. Barang bukti hasil pemerasan keempatnya, uang sebesar Rp17 juta.
Keempat pemeras yang dibekuk dalam waktu dan tempat berbeda, adalah TO (40) warga Desa Pancakarya, Kecamatan Ajung, dan AG (45) warga Desa/Kecamatan Jenggawah. Keduanya diciduk, dari pengembangan atas penangkapan dua orang sebelumnya. Yakni MA (50) warga Kelurahan Slawu, Kecamatan Patrang, dan ME (35) warga Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Sumbersari.
“Penangkapan keempatnya oleh Satreskrim sebagai daftar pencarian orang (DPO) kasus pemerasan itu, kurang dari sepekan sejak ditetapkan sebagai buronan,” kata Wakapolres Jember Kompol Kadek Ary Mahardika di Mapolres Jember, Kamis (17/6/2021).
Menurut dia, kedua pemeras yang berkedok wartawan itu masuk DPO bersama dua orang kawannya, yang terlebih dulu ditangkap usai melalukan pemerasan terhadap seorang warga Wuluhan sebesar Rp17 juta.
“Modus operandi keempatnya mengaku wartawan. Mereka memeras seseorang yang dituding melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukumnya tidak akan dipublikasikan, jika korban memberi imbalan rupiah yang nilainya mereka tentukan,” ujarnya.
Dalam kasus pemerasa terhadap warga Wuluhan itu, dikatakan, tersangka TO dan WA ikut serta menakut-nakuti korban, bahkan mereka telah menerima sejumlah uang dari korban. Sesuai catatan kepolisian, tersangka TO pernah menjalani hukuman kurungan penjara selama 4 tahun. Dia ngandang lantaran kasus penganiayaan.
Sedangkan tersangka MA dan ME yang tertangkap lebih dulu, memiliki catatan kriminal yang cukup memberatkan. MA merupakan residivis kambuhan kasus pemerasan. Dia pernah diganjar hukuman pada tahun 2017. Sementara ME pernah terjerat kasus pencurian sepeda motor, yang proses hukumnya sedang ditangani Polsek Sumbersari.
Dari keterangan para tersangka, mereka melakukan pemerasan di dua tempat kejadian perkara (TKP). Pertama di Jalan Pasar Sumberejo di Kecamatan Wuluhan, pada hari Jumat tanggal 11 Juni. Yang kedua di Depan Masjid Hidayahtullah di Kecamatan Jenggawah pada Sabtu tanggal 12 Juni.
Saat bertemu korban, tersangka MA meminta imbalan uang senilai Rp17 juta. Uang tersebut untuk sarana tidak mempublikasikan perilaku korban dengan seorang wanita, yang semobil keluar dari Hotel Beringin.
Untuk melancarkan aksinya, tersangka ME dan MA berbagi tugas. Tersangka ME berperan mencari sasaran untuk dijadikan korban. Sementara tersangka MA yang melakukan pengancaman dengan permintaan imbalan uang. Dalam aksi pemerasan yang dilakukan terhadap warga Wuluhan itu, keduanya beraksi ditemani tersang TO dan AG. Dalam aksi tersebut, keempat tersangka sama-sama menerima uang dari korban.
“Barang bukti yang diamankan polisi dalam penangkapan tersangka ME dan MA di antaranya satu unit mobil Escudo, 3 unit telepon genggam, uang tunai Rp2 juta, dua kartu ID Card wartawan media daring Expresi atas nama kedua tersangka,” katanya.
Atas aksi pemerasan yang dilakukan tersebut, keempat tersangka dijerat dengan Pasal 368 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 369 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman pidana kurungan penjaranya paling lama 9 tahun.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember Ira Rachmawati mengatakan, pihaknya menyikapi serius langkah polisi menangkap empat orang yang diduga melakukan pemerasan berkedok profesi wartawan.
“Kami mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pemerasan yang dilakukan empat wartawan gadungan itu. Sebab mereka bukan menjalankan kerja jurnalistik, tapi melakukan penodaan terhadap citra jurnaslis,” katanya.
Menurut Ira, setiap jurnalis selalu terikat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang cukup ketat. Aturan itu membuat cara kerja jurnalis jauh berbeda dengan pihak-pihak, yang melakukan pemerasan dengan mengatasnamakan profesi wartawan.
“Dalam KEJ Pasal 1 ditegaskan, bahwa wartawan tidak boleh beriktikat buruk dalam melakukan peliputan. Artinya, wartawan tidak boleh memiliki niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, peliputan juga tidak boleh masuk pada ranah privasi seseorang, sehingga wartawan yang profesional digaji oleh medianya, bukan dengan cara meminta uang atau barang kepada narasumber.
“Selain itu, dalam Pasal 2 KEJ juga ditegaskan bahwa wartawan harus menempuh cara yang profesional dalam melakukan peliputan, sehingga dalam melakukan wawancara harus secara patut dan tidak dengan mengancam,” ujarnya.
Ira mengatakan wartawan tidak bisa hanya dengan berbekal kartu pers yang bisa di cetak di mana saja, kemudian merasa bisa melakukan perbuatan semena-mena seperti pengancaman.
“AJI Jember juga menilai bahwa pihak yang melakukan pemerasan tidak bisa berlindung dengan menggunakan dalih kebebasan pers maupun UU Pers, sehingga itu masuk pidana murni sebagaimana yang diatur dalam KUHP,” katanya.
Karena itu, Ira menegaskan, AJI Jember mengajak semua pihak untuk berani bersikap tegas. Menolak pemerasan atau permintaan tertentu dengan ancaman pemberitaan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan wartawan. Pasalnya seorang wartawan “asli” tak akan melakukan aksi premanisme, seperti yang dilakukan keempat tersangka pemerasan warga Wuluhan tersebut.
“Selama ini kami kerap menerima keluhan yang disampaikan secara tidak langsung tentang ulah pihak yang mengatasnamakan wartawan dan melakukan tindakan yang jauh dari profesi wartawan profesional,” tuturnya.
Ironisnya, tidak semua narasumber berani melawan atau melapor. Sikap itu membuat perilaku aksi premanisme tersebut seakan dibiarkan. Sikap itu pada akhirnya merusak citra wartawan di masyarakat umum.
“Krena itu, AJI Jember siap menerima keluhan masyarakat yang merasa bimbang menghadapi pihak tertentu, yang diduga melakukan pemerasan dengan mengatasnamakan profesi wartawan di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi,” katanya.
Pengaduan kasus pemerasan bisa disampaikan kepada pengurus AJI Jember secara langsung maupun melalui kanal media sosial instagram (@ajijember) . (bid-02)