bongkah.id – Semua permasalahan yang terjadi di daerah, berakar pada ketidakadilan sosial pada seluruh rakyat Indonesia. Fakta politik itu membuat daerah dibelit beragam masalah, yang tidak kunjung selesai walau berkali-kali ganti kepala daerah. Misalnya, terkurasnya sumber daya alam hingga kemiskinan yang sulit diselesaikan.
Fakta ragam persoalan itu terdata dan terdokumentasi dari rangkaian kunjungan kerja Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti pada 32 provinsi di Indonesia. Atau kurang Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Dalam semua rangkaian kunjungan kerja sejak dilantik sebagai ketua DPD RI pada Oktober 2019, senator asal Jatim itu mendapatkan fakta terkait semua persoalan yang ada di Indonesia.
“Dari kunjungan kerja itu saya menyimpulkan hampir semua permasalahan di daerah sama. Mulai dari persoalan sumber daya alam terkuras hingga kemiskinan yang jauh dari kata mandiri. Semuanya itu memiliki akar persoalan di hulu. Bukan di hilir,” kata LaNyalla saat menjadi pembicara kunci pada seminar dan “Focus Group Discussion” (FGD) bertajuk Gagasan Amandemen V UUD NKRI 1945 : Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Membuka Calon Presiden Perorangan di kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (8/6/2021).
Menurut dia, ujud akar persoalan yang ada di daerah atau di hulu adalah ketidakadilan sosial. Sebuah idiom yang merupakan tujuan hakiki dari lahirnya NKRI, seperti dicita-citakan para pendiri bangsa. Idiom yang menjadi sila pamungkas dari Pancasila.
Dikatakan, strategi agar mempertahankan ketidakadilan sosial itu terus berlangsung adalah memanfaatkan undang-undang. Yang aromanya steril dari rasa keadilan sosial pada masyarakat. Dengan kondisi undang-undang yang membuka ruang terjadinya tindakan menguasai dan menguras kekayaan negara itu, membuat semua ketidakadilan sosial pada rakyat Indonesia itu berlangsung secara konstitusional.
Karena itu, membenahi dan mengoreksi semua persoalan itu harus dilakukan dari hulu. Dari daerah-daerah. Bukan dari hilir. Bukan sibuk mengkritisi pemerintah atau presiden. Ini karena posisi Presiden Indonesia sebagai Kepala Negara, hanya menjalankan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Meskipun presiden bersama DPR berhak dalam membuat undang-undang dan peraturan, bahkan presiden memiliki hak menerbitkan peraturan pengganti undang-undang.
“Solusi terhadap permasalahan tersebut, adalah membangkitkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik. Menyadarkan rakyat Indonesia sebagai pemilik Negara Indonesia yang sesungguhnya. Sementara para pejabat negara posisinya adalah pelayan masyarakat, untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan,” ujarnya.
Strategi untuk menyadarkan masyarakat dalam berpolitik itu, maka alumni Universitas Brawijaya, Malang, ini rutin bersilahturahim ke kampus-kampus. Untuk menggugah kesadaran politik. Sekaligus memantik pemikiran kaum terdidik dan para cendekiawan agar terbangun suasana kebatinan yang sama.
“Memikirkan bagaimana Indonesia ke depan lebih baik, bagaimana Indonesia bisa menjadi negara seperti dicita-citakan para pendiri yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” katanya.
“Mengapa saya datang ke kampus-kampus untuk diskusi? Mungkin ada yang bertanya, ada apa ketua DPD RI bicara konstitusi, bukannya sebagai wakil daerah yang harus fokus memperjuangkan kepentingan daerah?” tambah mantan Ketua Umum Kadin Jatim itu.
Rutinitas kunjungannya ke kampus-kampus itu, karena dirinya ingin berdiskusi dengan masyarakat kampus yang sangat terbuka dan kritis, terhadap semua data-data permasalahan yang terjadi di seluruh Indonesia. Dengan mengetahui data-data tersebut, maka masyarakat kampus memiliki kesempatan untuk terlibat langsung dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di hulu. Di mayoritas daerah yang dikunjungi LaNyalla sebagai Ketua DPD RI.
“Permasalahan ketidakadilan sosial yang terjadi di hulu tersebut adalah kualitas “melek politik” masyarakat daerah, yang selama ini hanya dimanfaatkan partai politik untuk memenangkan Pilkada, Pemilu Legislator, dan Pilpres,” ujarnya.
Salah satu fakta adanya persoalan demokrasi yang dialami Bangsa Indonesia pasca Reformasi 1998, menurut dia, adalah kesepakatan DPR RI atas ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Fakta itu menghapus kemunculan calon presiden perorangan atau non-partai politik, yang didukung rakyat.
Karena itu, kunjungannya ke kampus-kampus itu, diakui, ingin menggugah kesadaran masyarakat dalam berpolitik. Sehingga masyarakat tidak lagi menjadi sapi perahan partai politik. Sebaliknya masyarakat justru menjadi penggembala dari partai politik. Sehingga para kader partai politik yang terpilih sebagai legislator DPR RI, membuat undang-undang yang pro rakyat. Bukan undang-undang yang merugikan rakyat. Misalnya membatasi hak politik rakyat, sehingga calon presiden hanya di usung partai politik. Sementara hak politik rakyat untuk mengusung calon presiden dari non partai politik dikebiri. (bid-02)