bongkah.id – Dua buronan asal Indonesia, Indra Budiman dan Sai Ngo NG ditangkap Polisi imigrasi Amerika Serikat (ICE). Kedua buronan yang masuk dalam red notice tahun 2018 itu tertangkap dalam sebuah penggrebekan, terhadap imigran gelap pada pekan lalu. Keduanya sudah dalam penahanan ICE sebelum buronan Djoko Tjandra ditangkap Polisi Diraja Malaysia, dan dibawah pulang tim Bareskrim Polri pada Kamis (30/7/2020).
“Namun pihak Polri slow-slow saja menyikapinya. Tidak heboh seperti saat memburu DJoko Tjandra. Padahal kedua buronan ini lebih merugikan banyak orang. Jumlah uang yang dikemplangnya lebih besar dari yang dilarikan Djoko Tjandra,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane saat dihubungi ponselnya, Selasa (4/8/2020).
Menurut Neta, kasus kriminal yang dilakukan kedua buronan tersebut berlangsung pada pada Mei 2015. Namun mereka gagal dijerat hukum. Mereka keburu melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya pada 2018 dimasukan dalam Red Notice NCB Interpol.
Kadar kerugian yang diakibatkan kedua buronan tersebut, secara kualitas lebih berat dibanding Djoko Tjandra. Korbannya lebih banyak. Demikian pula nilai rupiah yang dikemplang. Seharusnya penangkapan atas Sai Ngo dan Indra Budiman lebih berkelas dibanding Djoko Tjandra.
Kabar tertangkapnya dua buronan kelas kakap itu dibenarkan Kementerian Luar Negeri RI. Juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, mengatakan Konsul Jenderal RI di Houston, Texas, sudah melaporkan penangkapan kedua WNI buronan kelas kakap tersebut ke Jakarta.
“Konsul Jenderal RI di Houston sudah laporkan ini ke pusat. KBRI Washington DC atau KJRI Houston akan keluarkan rilis. Detailnya tunggu rilis,” kata Faizasyah melalui pesan singkatnya.
Sedangkan Kasus hukum yang dilakukan Indra Budiman, dikatakan Neta S. Pane, skandal penipuan dan money laundering, terkait penjualan Condotel Swiss Bell di Kuta Bali. Korban penipuannya sebanyak 1.157 orang. Para korban tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Total nilai kerugian semua korbannya Rp 800 miliar lebih.
Dalam melakukan penipuan tersebut, Indra bekerjasama dengan koleganya Christopher Andreas Lie. Pasangan penipu ini melakukan kejahatannya dengan membuat perusahaan konsultan properti, PT Royal Premier Internasional. Perusahaan itu menawarkan apartemen dan condotel dengan harga Rp 1 miliar lebih. Ada 12 properti yang mereka tawarkan.
Modus operandinya, menawarkan properti dalam kemasan program investasi emas dan asuransi. Iming-iming pemikatnya, nasabah propertinya akan mendapatkan balik modal di tahun ke-10 hingga ke-15. Selain itu, para nasabah korbannya dijanjikan keuntungan, cash back sebesar dua persen, dan hadiah kendaraan mewah.
Dalam kasus ini Christopher melakukan kontrak pembelian dengan developer atas nama korban. Namun uang nasabah yang diterima, tidak dibayarkan sepenuhnya. Sebagian dikemplang. Masuk kantong pribadi. Sebagian digunakan untuk trading dan investasi, sebagian lagi untuk membeli rumah, tanah dan kendaraan pribadi.
Saat Christofer ditangkap oleh Subdit Fiskal Moneter dan Devisa Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada Mei 2015, Indra berhasil kabur ke Korea Selatan. Selanjutnya berpindah ke negara Paman trump tersebut dan beberapa pekan lalu tertangkap.
KREDIT FIKTIF
Sedangkan pelanggaran hukum yang dilakukan buronan Sai Ngo NG, adalah skandal korupsi pengajuan 172 Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif ke Bank Jatim Cabang Wolter Monginsidi Jakarta. Skandal korupsi ini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Sebagaimana diketahui, KUR merupakan program pemerintah untuk membantu usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan pembiayaan modal kerja. Pemerintah menjadi penjamin pinjaman yang dikucurkan.
Dalam melakukan kejahatan ini, Sai Ngo bekerjasama dengan terpidana Yudi Setiawan yang telah divonis penjara 17 tahun pada 2017 silam. Juga, dua pelaku lainnya. Keempatnya berlaku sebagai koordinator kredit, atas 172 KUR fiktif tersebut. Mereka bekerjasama dengan beberapa pejabat Bank Jatim Cabang Wolter Monginsidi Jakarta.
Persyaratan untuk mendapatkan KUR tersebut, sebenarnya sudah ditetapkan Undang-Undang. Namun, permohonan pinjaman yang dikoordinir Sai Ngo dan Yudi Setiawan berhasil dikabulkan Bank Jatim Cabang Jakarta Wolter Monginsidi. Padahal persyaratan pengajuan kredit yang diberikan tidak memenuhi syarat. Nasabah fiktif yang dikoordinir hanya menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan surat izin usaha.
Selama kurun Juli 2012 hingga Agustus 2013, Bank Jatim Cabang Jakarta Wolter Monginsidi mengucurkan KUR kepada 172 debitur fiktif. Sesuai batasan pemerintah, setiap nasabah hanya mendapatkan pinjaman maksimal Rp 500 juta. Pengembalian cicilan pinjaman pada bulan-bulan awal lancar. Belakangan, tersendat. Akhirnya tidak ada pembayaran cicilan sama sekali atas pinjaman yang dicairkan. Itu terjadi, karena pinjaman tersebut diberikan pada nasabah fiktif karya Sai Ngo, Yudi Setiawan dkk.
Sesuai ketentuan pemerintahan, pinjaman KUR diasuransikan kepada Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo). Jamkrindo hanya menanggung pembayaran cicilan bulan pertama. Cicilan bulan berikutnya tidak ditanggung.
Berdasarkan pengusutan yang dilakukan kejaksaan, empat koordinator mengajukan data-data yang tidak benar. Bahkan fiktif agar Bank Jatim Cabang Jakarta Wolter Monginsidi mengucurkan KUR kepada 172 debitur. Total kredit yang dikucurkan Rp 72,832 miliar.
Saat Kejati DKI Jakarta mulai melakukan proses pengungkapan korupsi di Bank Jatim itulah, Sai Ngo berhasil melarikan diri ke luar negeri. Konon dia terbang ke Australia. Selanjutnya raib. Dan, akhirnya tertangkap di Negara Paman Trump itu bersama Indra Budiman. (rim)