Bongkah.id — Pengunduran diri Sekretaris Umum KONI Kabupaten Mojokerto, Kasiono, memunculkan pertanyaan serius mengenai arah pengelolaan organisasi tersebut.
Kasiono bukan satu-satunya yang mundur. Setidaknya dua pengurus lainnya telah lebih dulu mengundurkan diri dalam kurun waktu yang berdekatan.
Media ini memperoleh informasi bahwa pengunduran diri itu bukan murni karena alasan pribadi, melainkan akibat konflik internal yang disinyalir disengaja.
Kasiono menyatakan bahwa perbedaan prinsip menjadi alasan utama dirinya mundur dari jabatan strategis tersebut.
“Sudah tidak sepaham dalam pengelolaan organisasi,” kata Kasiono, Kamis, (31/7/2025).
Kasiono mengklaim telah berusaha membangun sistem organisasi yang transparan dan akuntabel sejak awal masa kepengurusan. Ia menyusun struktur kerja dan konsep pelaksanaan program termasuk dalam kegiatan besar seperti Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jatim 2025. Namun, sebagian besar usul dan rancangannya diabaikan tanpa penjelasan.
“Saya sudah membuat konsep lengkap tim official, dari ketua hingga pengawas logistik. Tapi draf itu diganti. Saya tidak tahu oleh siapa,” ujarnya.
Dalam konsep yang dimaksud, termasuk buku panduan teknis Porprov yang tak pernah digunakan. Di dalamnya terdapat struktur lengkap dan tugas teknis setiap personel. Namun dalam Surat Keputusan final KONI, sebagian besar nama dan struktur itu tidak tercantum. Penghapusan nama-nama itu, menurut Kasiono, tidak dikomunikasikan secara formal.
Dugaan Intervensi Politik
Informasi yang diperoleh dari sumber di internal KONI menyebutkan bahwa konflik internal diduga kuat dipicu oleh upaya sistematis untuk menggantikan sejumlah pengurus lama dengan figur-figur baru yang disebut-sebut bagian dari “gerbong politik” Ketua KONI saat ini.
“Strukturnya memang diarahkan untuk digeser. Targetnya menggantikan pengurus lama dengan orang-orang dekat yang berjasa waktu Pilkada,” ujar seorang pengurus cabor yang meminta namanya dirahasiakan.
Sumber itu menyebut proses marginalisasi dilakukan secara halus, antara lain dengan mengabaikan usulan program, mengganti konsep kerja tanpa diskusi, hingga membatasi ruang komunikasi pengurus inti. Cara ini dinilai efektif membuat sejumlah pengurus memilih mundur secara sukarela tanpa perlu konflik terbuka.
Hingga berita ini ditulis, bongkah.id telah mengajukan permintaan konfirmasi kepada Ketua KONI Kabupaten Mojokerto, namun belum mendapat tanggapan resmi. Beberapa pesan singkat yang dikirim tak dibalas.
Kasiono menilai, semestinya konflik internal dapat diminimalkan jika Ketua KONI mengambil peran lebih aktif dalam menyatukan gerbong organisasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ia mengaku tidak pernah diajak berdiskusi ketika kebijakan besar ditentukan.
“Tidak ada koordinasi yang jelas. Semua berjalan sendiri-sendiri,” katanya.
Sinyal perpecahan di tubuh KONI Mojokerto juga terlihat dari minimnya pelibatan pengurus harian dalam keputusan strategis selama persiapan Porprov. Sejumlah cabor bahkan mengeluhkan kurangnya keterlibatan mereka dalam proses pembentukan tim, distribusi logistik, hingga laporan keuangan.
Evaluasi dan Transparansi
Desakan evaluasi terhadap kinerja KONI Mojokerto mulai mencuat dari beberapa pengurus cabor dan pemantau anggaran. Terlebih, KONI tercatat menerima alokasi anggaran sekitar Rp 4,2 miliar dari APBD 2025 untuk pelaksanaan kegiatan olahraga, termasuk Porprov.
“Dana hibah ini adalah uang rakyat. Maka, penggunaannya wajib dibuka secara utuh, bukan hanya sekadar klaim,” tegas Sekretaris Regional LBH CCI, Herianto.
Desakan ini tak datang tanpa dasar. LBH CCI mengaku menerima laporan dugaan penyimpangan saat pelaksanaan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) IX Jawa Timur 2025. Beberapa indikasi ketidakwajaran terungkap, mulai dari kualitas sepatu atlet yang dinilai tak layak, meski dianggarkan Rp 350 ribu per pasang, hingga dugaan markup pada konsumsi nasi kotak senilai Rp 30 ribu per porsi.
Tak hanya itu, LBH CCI juga menyoroti isu gratifikasi. Salah satu vendor nasi kotak diduga memberikan uang sebesar Rp 40 juta kepada Ketua KONI Mojokerto.
“Kami ingin tahu, apakah benar ada dana Rp 3 miliar yang diklaim sudah disalurkan ke atlet dan pelatih. Kalau iya, mana buktinya?” tantang Herianto.
Hingga kini belum ada langkah resmi dari Pemkab Mojokerto untuk memediasi konflik internal tersebut. Beberapa pengurus cabang olahraga mulai mempertanyakan legitimasi struktur organisasi KONI jika pengambilan keputusan hanya dikendalikan oleh segelintir orang. (ima/sip)