
Bongkah.id – Suasana kompleks pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, terasa sedikit berbeda dari biasanya. Di antara peziarah yang datang, tampak satu rombongan dengan pakaian khas Tionghoa membawa sincie, papan arwah bertuliskan nama KH Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur.
Papan arwah itu dibawa dengan penuh khidmat dari altar Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang, menempuh perjalanan lintas provinsi menuju tempat peristirahatan terakhir Presiden ke-4 Republik Indonesia tersebut. Sebuah ziarah yang tak biasa dan untuk pertama kalinya dilakukan dalam tradisi Ceng Beng oleh komunitas Tionghoa kepada tokoh Muslim Indonesia.
“Sincie itu sengaja kami bawa dari altar perkumpulan Boen Hian Tong di Semarang ke makam Gus Dur dalam perjalanan Ceng Beng,” tutur Asrida Ulinuha, Humas dari Boen Hian Tong Semarang 1876. Sabtu (31/5/2025).
Tradisi Ceng Beng, atau Qing Ming, merupakan momen penting bagi masyarakat Tionghoa untuk berziarah ke makam leluhur mereka. Namun kali ini, mereka menempuh langkah berbeda, ziarah ke makam seorang tokoh bangsa yang bukan dari garis keturunan mereka, tetapi sangat mereka hormati, yakni Gus Dur.
“Karena Gus Dur telah diberi gelar sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, maka orang-orang Tionghoa, khususnya di Semarang, berpikir untuk melakukan ziarah ke bapaknya,” ujar Asrida dengan mantap.
Bagi komunitas Boen Hian Tong, ziarah ini bukan sekadar penghormatan simbolik. Ia adalah pernyataan identitas, penghargaan atas perjuangan Gus Dur membuka jalan bagi kesetaraan. Di masa kepemimpinannya, Gus Dur menghapus diskriminasi terhadap warga Tionghoa dan mengembalikan hak mereka untuk merayakan tradisi secara terbuka termasuk Imlek yang kini menjadi hari libur nasional.
“Maka kami pun bersepakat untuk melakukan ziarah ke makam Gus Dur. Ceng Beng ini pertama kali dan satu-satunya dilaksanakan oleh perkumpulan Boen Hian Tong atau Rasa Dharma Semarang,” jelas Asrida.
Boen Hian Tong sendiri adalah organisasi yang telah berdiri sejak 1876. Bergerak di bidang sosial, budaya, dan kemasyarakatan, mereka dikenal aktif dalam upaya pelestarian tradisi sekaligus menjembatani nilai-nilai keberagaman di Indonesia.
“Dan kami berusaha menjaga keberagaman itu, ya. Bahwa kita semua orang Indonesia,” ucap Asrida, seolah menegaskan bahwa identitas etnis bukanlah batas, melainkan jembatan untuk saling memahami.
Ketika ditanya tentang makna spiritual dari kegiatan ini, Asrida menyebut ziarah ini bukan hanya memiliki nilai religius yang tinggi, tetapi juga sarat dengan makna kebangsaan.
“Gus Dur ini begitu dihormati, dan karena Gus Dur lah yang mengeluarkan keputusan presiden, mereka (warga Tionghoa) bisa merayakan hari raya mereka,” katanya.
“Jadi nilai religinya besar. Tapi di satu sisi, yang penting bagi mereka (warga Tionghoa) adalah nilai kebangsaannya. Karena nilai kebangsaan itulah yang menyatukan di antara mereka sendiri, mengingat mereka orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia malah merasa lebih Indonesia,” ujarnya.
Hari itu, sincie Gus Dur berdiri tegak di pelataran pemakaman. Diapit dupa dan bunga, serta doa yang melangit. Sebuah simbol keabadian rasa hormat yang melintasi batas agama, etnis, dan budaya, mengenang seorang tokoh yang telah menjadi milik semua golongan, Gus Dur, Bapak Tionghoa Indonesia. (Ima/sip)