bongkah.id – Ombudsman RI menemukan adanya 397 komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang rangkap jabatan. Mereka juga rangkap pendapatan. Hal ini melanggar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah maka wajib dijerat dengan UU Tipikor, karena merugikan keuangan negara.
Demikian penjelasan anggota Ombudsman RI Alamsyah Siregar dalam keterangannya resmi yang diterima bongkah.id, Senin (29/06/2020).
Data tersebut, menurut ia, didapat dari hasil konfirmasi dan verifikasi dengan Kementerian BUMN pada 2019. Namun, pada 2020 kondisi sama terindikasi tetap berlangsung. Itu berdasar mekanisme perekrutan komisaris BUMN yang prosesnya berulang.
“Keberadaan Komisaris rangkap jabatan itu mayoritas di BUMN, yang tidak memberikan pendapatan signifikan. Belum untung, bahkan merugi,” katanya.
Menurut ia, komisaris yang rangkap jabatan itu asalnya beragam. Ada yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif di beberapa kementerian dan non kementerian, anggota TNI-Polri aktif, sampai anggota partai politik. Komisaris rangkap jabatan terbanyak dari ASN Kementerian. Sebanyak 254 orang.
Kementerian yang paling banyak menyumbang komisaris rangkap jabatan, adalah Kementerian BUMN. Sejumlah 55 orang ASN. Di urutan kedua dari Kementerian Keuangan. Sebanyak 42 orang ASN.
Sementara komisaris BUMN dari kalangan TNI sebanyak 27 orang, Polri 13 orang, dan Kejaksaan 12 orang. Bahkan dipaparkam, ada Komisaris BUMN yang merangkap di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebanyak 4 orang.
“Apakah kita mau berargumen kita bisa menjaga etika, sampai lembaga pengawas pun harus rangkap jabatan jadi komisaris,” ujarnya.
Selain rangkap jabatan, ternyata Alamsyah menemukan bukti, para komisaris tersebut juga rangkap penghasilan. Sebuah kondisi yang melanggar UU dan PP. Karena itu, wanib dijerat dengan UU Tipikor.
Tak hanya itu, perilaku rangkap jabatan dan penghasilan itu, diyakini, berpotensi memicu konflik kepentingan, antara BUMN dan lembaga tempat komisaris tersebut juga menjabat.
Alamsyah mengilustrasikan, seorang ASN pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang rangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN bidang infrastuktur, bukan sebuah kemuskilan adanya potensi kongkalikong dalam pengerjaan beragam proyek pembangunan pemerintah pusat “dimenangkan” oleh BUMN tempat ASN Kementerian PUPR menjabat komisaris.
“Saya yakin sebenarnya pemerintah tahu adanya Komisaris BUMN rangkap jabatan dan penghasilan tersebut, hanya saja pemerintah pura-pura tidak tahu,” katanya.
Temuan ini, dikatakan, menjadi catatan yang akan diberikan Ombudsman pada pemerintah. Selain itu, Ombudsman akan fokus pada perbaikan sistem dan tidak menyinggung masalah perombakan posisi komisaris.
Karena ITU, Ombudsman akan terus memperhatikan proses rekrutmen para komisaris BUMN. Alamsyah menegaskan, rangkap jabatan turut membuat sang komisaris mendapat upah ganda.
Tak hanya itu, rangkap jabatan berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, dan konflik kepentingan.
“Itu yang menjadi concern kami. Jadi lebih pada ingin melihat sepertinya kita harus sungguh-sungguh, pemerintah harus selesaikan masalah benturan regulasi ini,” tambahnya.
“Rangkap jabatan komisaris di BUMN itu, juga akan memperburuk tata kelola. Juga, mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN, kalau hal yang sifatnya etik, akuntabilitas, double payment ini dibiarkan,” katanya. (ima)