bongkah.id – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberi contoh baik. Sebuah contoh yang patut ditiru para pejabat tinggi di Indonesia. Tidak malu meminta maaf. Bukan ngotot mempertahankan keputusannya yang dikritisi. Selanjutnya melakukan pelaporan ke kepolisian. Menuding para pengkritisi kebijakannya telah melakukan pencemaran nama baik.
“Dengan penuh rendah hati, saya memohon maaf atas segala ketidaknyamanan yang timbul dan berharap agar ketiga organisasi besar ini bersedia terus memberikan bimbingan dalam proses pelaksanaan program, yang kami sadari betul masih jauh dari sempurna,” kata Nadiem dalam video yang diterima para wartawan, Rabu (29/7/2020).
Permohonan maaf itu disampaikan Nadiem pada Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketiga organisasi masyarakat besar itu memutuskan mundur sebagai peserta Program Organisasi Penggerak (POP), setelah mengetahui ada kejanggalan dalam penyelenggaraan POP tersebut.
Sebagaimana diketahui POP merupakan program Kemendikbud untuk memberi pelatihan dan pendampingan bagi para guru. Untuk meningkatkan kualitas peserta didik dengan menggandeng banyak organisasi. Dari 4.464 ormas yang mengajukan proposal, terdapat 156 ormas yang lolos seleksi evaluasi.
Organisasi yang terpilih akan mendapat hibah untuk menunjang program yang mereka ajukan. Kemendikbud membaginya menjadi kategori III yakni Gajah dengan bantuan maksimal Rp20 miliar, kategori Macan sebesar Rp5 miliar, dan Kijang Rp1 miliar per tahun.
Ironisnya dari seleksi evaluasi tersebut, muncul dua nama organisasi yang selama ini belum pernah bergerak di dunia pendidikan. Namun, keduanya berhasil lolos untuk kategori Gajah dan berhak menerima dana hibah Rp20 miliar. Selain itu kedua organisasi tersebut terungkap memiliki kedekatan dengan sebuah perusahaan raksasa. Yang seharusnya tidak berhak menerima dana hibah, tapi berkewajiban mengeluarkan dana corporate social responsibility (CSR). Kedua organisasi tersebut adalah Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna. Meski belakangan Tanoto Foundation membantah, bahwa organisasi mereka CSR dan tak seharusnya didanai pemerintah.
Tidak hanya itu, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Kasiyarno menilai, ada ormas yang tidak kompeten. Tidak memiliki kantor, tidak memiliki staff, dan program yang ditawarkan juga tidak jelas. Namun, panitia seleksi meloloskan ormas tersebut sebagai penerima dana hibah.
Sebaliknya ada beberapa organisasi masyarakat yang layak mendapatkan dana hibah POP, justru tak lolos seleksi. Misalnya Muslimat Nahdlatul Ulama hingga Aisyiyah. Demikian pula banyak lainnya, yang tak berhasil lolos seleksi.
Karena itu, Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang telah lolos seleksi, sepakat mengundurkan diri. Mereka tidak mau mendukung program pendidikan yang dibiayai APBN, tapi beraroma korupsi. Fakta itu tercermin dari kualifikasi beberapa ormas yang lolos seleksi, ternyata tidak memiliki kapabelitas dalam duna pendidikan. Selain itu, merupakan organisasi “tuyul” yang bermunculan saat pemerintah membagikan dana hibah.
ORMAS PARTISIPAN
Sementara Menteri Nadiem dalam video yang diterima wartawan, menyatakan, bahwa Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna sama sekali tidak menerima dana hibah. Kedua organisasi tersebut akan menanggung biaya pelaksanaan program secara mandiri.
“Kemendikbud telah menyepakati dengan Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation, bahwa partisipasi mereka dalam program Kemendikbud tidak akan menggunakan dana dari APBN sepeserpun. Mereka akan mendanai sendiri aktivitas programnya tanpa anggaran dari pemerintah,” kata mantan big bos GoJek ini.
Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna merupakan dua dari sekian ormas yang lolos dengan kategori Gajah. Pada kategori Gajah, mereka seharusnya mendapat hibah dari negara maksimal hingga Rp20 miliar. Namun setelah menuai banyak kritik, Kemendikbud menyatakan Tanoto Foundation membiayai seluruh dana pelatihan secara mandiri. Hal ini pun dikonfirmasi oleh pihak Tanoto Foundation.
“Pelatihan yang kami selenggarakan didesain tidak menggunakan dana pemerintah. Sepenuhnya dibiayai dana sendiri dengan nilai investasi lebih dari Rp50 miliar untuk periode dua tahun,” kata Communications Director Tanoto Foundation, Haviez Gautama.
Sementara Yayasan Putera Sampoerna sebelumnya diklaim menggunakan dana pendamping. Artinya Yayasan Putera Sampoerna membiayai sebagian dana pelatihan, dan sebagian lagi dibantu Kemendikbud. Skema dana pendamping nilainya hampir Rp70 miliar untuk mendukung program peningkatan kualitas guru dan ekosistem pendidikan, serta Rp90 miliar untuk mendukung program peningkatan akses pendidikan. Namun kini Nadiem memutuskan Yayasan Putera Sampoerna juga membiayai seluruh pelatihan secara mandiri.
“Harapan kami ini akan menjawab kecemasan masyarakat mengenai potensi konflik kepentingan, dan isu kelayakan hibah, yang sekarang dapat dialihkan kepada organisasi yang lebih membutuhkan,” ujar Nadiem.
Keputusan Menteri Nadiem kini telah disetujui Yayasan Putera Sampoerna. Kendati demikian, mereka berjanji bakal tetap menjaga integritas dan efektifitas jalan hingga pengukuran capaian program.
“Sejalan dengan arahan Kemendikbud mengenai penguatan gotong royong, Yayasan Putera Sampoerna meyakini pengembangan pendidikan membutuhkan kolaborasi semua pihak,” ujar Head of Marketing & Communication Yayasan Putera Sampoerna Ria Sutrisno melalui keterangan pers.
Menurut Ria, Yayasan Putera Sampoerna bukan organisasi tanggung jawab perusahaan atau CSR dari PT HM Sampoerna Tbk. Yayasan Putera Sampoerna tidak berafiliasi dengan perusahaan tersebut, baik dari legalitas, kepemilikan saham, sampai operasional.
“Sejak awal mengikuti seleksi POP, tujuan utama Yayasan Putera Sampoerna adalah merumuskan program pendidikan yang dapat membantu meningkatkan pendidikan dan pemajuan literasi, numerasi dan penguatan karakter bagi pendidik dan anak didik,” katanyi.
Sebelumnya, Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengkritik respons Kemendikbud yang menyatakan Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna memakai dana sendiri dalam program ini. Menurut FSGI hal tersebut janggal. Terlebih karena hal tersebut baru diumumkan ketika kritik mengalir.
“Kalau dana sendiri ngapain juga ngajuin proposal? Saya jadi bingung menanggapi yang muncul setelah ini jadi ramai. Ini saya yang kurang cerdas atau gimana?,” kata Retno melalui konferensi video, Jumat (24/7). (ima)