bongkah.id – Desa Kendalbulur dan Desa Waung di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, sukses kembangkan model wisata rintisan. Keduanya dikelola masyarakat. Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan kelompok sadar wisata setempat.
Tempat wisata rintisan yang ramai dikunjungi wisatawan sejak pembukaan objek wisata di era pandemi Covid-19 berkonsep adaptasi normal baru itu, adalah objek wisata Nakula Park di Desa Kendalbulur dan Agrowisata Njegong Park di Desa Waung.
Sejak pagi hingga siang, kedua tempat wisata di Kecamatan Boyolangu itu hampir selalu diserbu pengunjung. Selain menawarkan keindahan wahana berkonsep taman dan perkebunan, kedua destinasi itu juga menyuguhkan budaya asli Kabupaten Tulungagung.
Di taman Nakula (Nakula Park) yang berlokasi di pinggiran Desa Kendalbulur, misalnya. Setiap hari taman yang beroperasi mulai pukul 07.00 hingga 20.00 WIB ini dikunjungi wisatawan hingga 1.500 wisatawan. Jumlah ini meningkat tajam saat libur akhir pekan. Ataupun liburan hari besar seperti Tahun Baru Islam, Kamis – Minggu (20-23/8/2020) kemarin.
“Objek wisata baru berbasis desa ini dikelola BUMDes Kendalbulur. Penyajiannya menekankan nilai-nilai lokalitas, budaya daerah yang dikolaborasikan dengan taman bunga warna-warni,” kata Kepala Desa Kendalbulur Anang Mustofa saat ditemui di pendopo kelurahan, Selasa (25/8/2020).
Membuat objek wisata rintisan tersebut, menurut dia, awalnya lebih diperuntukkan untuk taman wisata warga desa sendiri. Menggunakan tanah kas desa yang cukup luas di tepi areal persawahan setempat. Perjalanan waktu merangsang Pemerintah Desa Kendalbulur mengembangkan menjadi taman rekreasi umum. Menggunakan dana desa. Juga, subsidi dari Pemkab Tulungagung.
“Anggaran yang terserap untuk membangun ikon wisata rintisan desa ini cukup besar. Mencapai ratusan juta rupiah. Hasilnya juga lumayan bagus. Hingga saat ini sekitar sebulanan sejak dibuka, Nakula Park sudah meraup omzet sekitar Rp500 juta,” ujarnya sembari tersenyum.
Serapan pendapatan itu, ditambahkan, belum termasuk uang yang dibelanjakan wisatawan. Membeli suvenir atau kuliner yang ditawarkan pedagang di sekitar lokasi. Ini karena nilai pendapatan hasil penjualan suvenir dan kuliner itu, langsung masuk kas pribadi para pedagang.
Keramaian serupa terpantau di objek wisata rintisan Agrowisata Njegong Park. Tempat wisata yang diresmikan Bupati Tulungagung, Drs. Maryoto Birowo,M.M., bersama Forkopimda Tulungagung pada 12 Juli lalu.
Obyek wisata yang memiliki ikon miniatur menara Eiffel setinggi 20-an meter itu dikelilingi banyak pohon Belimbing. Pun pasar tradisional yang menjajakan makanan dan minuman khas Kota Marmer itu. Misalnya kopi, punten/nasi pecel, kerupuk sambal dan sebagainya
Sementara keistimewaan Njegong Park nyaris sama dengan agrowisata perkebunan apel di Kota Batu, Malang Raya. Wisatawan berkesempatan untuk memetik buah belimbing masak yang ada di pohon. Buah hasil petik pohon dapat langsung dimakan ditempat. Demikian pula di bawah pulang sebagai ole-ole. Wisata rintisan ini juga memberdayakan banyak pedagang makanan tradisional. Yang semuanya warga sekitar desa.
Menurut Kepala Desa Waung Eko Wahono, pembangunan taman wisata Njegong Park ini atas inisiasi warga dan Pokdarwis. Kedepannya Njegong Park tidak hanya menyuguhkan kebun blimbing. Maupun pusat kuliner lokal saja. Nantinya juga membudidayakan buah-buahan lain. Demikian pula sayuran organik.
“Obsesi itu sesuai dengan pemilihan nama Njegong Park. Nama itu mencerminkan di taman Njegong, tanahnya paling subur di Desa Waung. Tanaman apa saja yang ditanam pasti hasilnya bagus,” katanya.
Keberadaan destinasi wisata Njegong Park itu, dikatakan, mendapat respon positif warga. Banyak warga memberikan dukungan. Salah satunya dibuktikan dengan sikap warga untuk ikut berinvestasi. Mengizinkan tanahnya untuk dikelola sebagai wilayah Njegong Park, dengan sistem bagi hasil berdasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Desa dengan warga pemilik tanah.
“Bagi yang hendak berkunjung ke Njegong Park hanya dipungut tiket Rp.2 ribu. Itupun untuk membayar parkir. Waktu operasi taman sejak pagi hingga malam pukul 21.00 WIB,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Bupati Maryoto mengatakan, munculnya tempat-tempat wisata berbasis desa di Tulungagung itu berpotensi menjaga perekonomian daerah. Memberikan pemasukan pasti untuk warga desa.
Fakta bermunculannya destinasi wisa desa itu, dinilainya, sebagai cermin masih adanya ruh gotong royong di masyarakat desa. Warga Desa Kendalbulur dan Waung sudah membuktikan. Warga kedua desa itu mampu memberdayakan potensi desa masing-masing. Para warga desa itu tanpa orasi politik tentang gotong royong di medsos, seperti perilaku para Buzzer Rupiah selama ini.
Harapannya, keberadaan wisata rintisan berbasis desa ini memberikan manfaat. Menyejahterakan warganya. Pun merangsang munculnya usaha kreatif. “Tentunya bagi masyarakat yang berjualan di sekitar sini akan mendapatkan penghasilan yang bagus untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,” katanya.
Kendati demikian, Maryoto mengingatkan, hendaknya Pemerintah Desa Kendalbulur, Desa Waung dan pengelola tempat wisata tetap memperhatikan protokol kesehatan. “Memang tren penyebaran dan temuan Covid-19 di Tulungagung mulai stabil, namun belum sepenuhnya berakhir. Setiap waktu kondisi bisa berubah. Karena itu, sikap waspada dengan protokol kesehatan ketat wajib dilakukan semua warga Tulungagung,” tambahnya. (ima)