bongkah.id b – Drama hukum terus mewarnai proses hukum terhadap buronan Djoko Tjandra dan para begundalnya. Setiap oknum yang terlibat dalam pelanggaran hukum yang dilakukan pria bernama asli Tjan Kok Hui itu, bermunculan silih berganti. Kisahnya berbeda. Namun atmosfer yang merebak sama. Kelompok pelanggar hukum itu tengah melecehkan keadilan penegakan hukum di Indonesia.
Drama hukum terbaru seputar konspirasi membantu terpidana Djoko Tjandra dalam melecehkan hukum di Indonesia, kembali mengusik Komisi Kejaksaan (Komjak). Sikap sama yang pernah dilakukan Komjak saat proses hukum terhadap tersangka mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Drama hukum itu adalah jamuan makan siang dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan terhadap tiga tersangka dalam kasus surat jalan dan penghapusan red notice Djoko Tjandra, saat proses penyerahan berkas perkara berikut barang bukti dan tersangka pada Jumat (16/10/2020). Ketiga tersangka yang dijamu itu adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, dan pengusaha Tommy Sumardi.
“Menyangkut hal ini kami akan minta penjelasan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Untuk mendapatkan latar belakang cerita yang beredar tersebut terjadi,” kata Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita Simanjuntak dalam keterangan resmi yang diterima para wartawan, Minggu (18/10/2020).
Menurut dia, pihaknya ingin melihat potensi pelanggaran aturan atau standar etik jaksa yang menjamu dua tersangka tersebut. Sebab standar dan prosedur penanganan perkara sudah diatur dalam berbagai ketentuan yang dibuat Kejaksaan Agung. SOP itu sudah baku. Tidak bisa dimanipulasi sedikit pun, dengan alasan etika atau lainnya.
“Keputusan kami ini untuk menegaskan, bahwa semua aspek dapat dipertanggungjawabkan. Sebab saat ini di masyarakat sudah berkembang beragam cerita, yang terkait dengan layanan istimewa terhadap para tersangka pelanggar hukum yang membantu Djoko Tjandra,” ujarnya.
Kisah jamuan makan siang terhadap tersangka Prasetijo Utomo, Napoleon Bonaparte, dan Tommy Sumardi saat proses penyerahan berkas perkara berikut barang bukti dan tersangka dalam kasus suap itu meletup dari pengakuan Pengacara tersangka Prasetijo Utomo, Petrus Bala Pattyona. Dia mengaku terkejut dan heran. Sebab mendapat jamuan seusai proses administrasi P21 hingga pertanyaan jaksa peneliti kepada para tersangka dilakukan seperti biasa.
Dikisahkan Bala Pattyona, seusai proses administrasi mendapat jamuan kudapan seperti kue jajanan pasar, kopi pahit, teh hangat disajikan. Saat masuk jam makan siang, mendapat jamuan nasi putih dan soto betawi bening bersantan dihidangkan.
“Sejak saya menjadi pengacara pada 1987, baru sekali ini dipenyerahan berkas perkara tahap 2 -istilahnya P21, yaitu penyerahan berkas perkara berikut barang bukti dan tersangkanya, dijamu makan siang oleh kepala kejaksaan,” cerita Petrus dalam akun Facebooknya.
Seusai makan siang, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Anang Supriatna menghampiri para tersangka. Ia menyerahkan baju tahanan kejaksaan kepada para tersangka.
“Sambil menjelaskan, mohon maaf ya Jenderal, ini protap dan aturan baku sebagai tahanan Kejaksaan,” kata Petrus.
SOP KEJAKSAAN
Saat dikonfirmasi terpisah, Anang Supriatna mengakui, jamuan yang dilakukan Kejari Jakarta Selatan terhadap tersangka Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Demikian pula terhadap Tommy Sumardi, yang saat itu berstatus sebagai saksi. Pemberian makan siang terhadap para saksi dan tersangka yang tengah diperiksa, merupakan bagian dari pelayanan publik di Kejari Jakarta Selatan yang dipimpin.
“Itu bagian dari layanan publik. Prosedur kita seperti itu. Ada anggarannya sendiri untuk memberikan makan siang. Kondisi sama juga terjadi di KPK dan Kejaksaan Agung,” katanya.
Anang lantas membeberkan kronologi kejadian peristiwa tersebut. Kedua tersangka dan seorang saksi kasus gratifikasi dari terpidana Djoko Tjandra itu diperiksa sejak jam 09.00-14.00 WIB. Saat memasuki waktu makan siang, Kejari Jaksel menerapkan standar operasional wajib memberikan makan siang bagi para tersangka dan pihak yang terlibat.
“Jadi enggak cuma terdakwa aja yang kita sediakan, penuntut umum juga, beberapa pengawal. Pengacaranya juga. Biar enggak bolak-balik,” ujarnya.
Diakui, perjamuan makan siang itu berupa nasi putih dan Soto Betawi. Jamuan itu tidak menu khusus bagi dua tersangka jendral polisi itu saja. Menu yang sama juga diberikan pada yang lain. Menu tersebut diambil dari kantin Kejari Jakarta Selatan. Bukan dibelikan secara khusus di restoran. Jamuan itu pun sebenarnya merupakan kebijakan darurat. Biasanya buat tersangka dan saksi yang diperiksa diberikan nasi kotak yang dibelikan dari restoran atau rumah makan Padang.
“Itu Nasi Putih dan Soto Betawi dari kantin Kejari. Harganya lebih murah dari nasi kotak yang biasanya disuguhkan pada tersangka dan saksi lainnya,” tambahnya.
Proses menjamu dua jendral Polri tersangka tersebut, ditegaskan Anang, tak bermaksud untuk mengistimewakan orang-orang tertentu dalam bertugas. Sebaliknya untuk melaksanakan SOP Kejaksaan dalam memberi makan siang tersangka dan saksi. Seusai makan siang, kedua tersangka dihampiri untuk diminta melepas pakaian dinas Polri yang dikenakan saat datang. Selanjutnya diminta memakai baju tahanan kejaksaan. Pasalnya saat ini kedua jenderal Polri itu telah resmi sebagai tahanan kejaksaan, yang aturannya sudah ditetapkan.
Penggunaan baju tahanan bagi para tersangka, dikatakan, merupakan prosedur yang wajib dipatuhi. Kendati demikian, kejaksaan masih nguwongke kedua tersangka Jenderal Polri tersebut. Bahkan mereka pulang dengan memakai mobil tahanan Kejari Jakarta Selatan.
“Penegakan hukum di Indonesia itu prinsipnya praduga tidak bersalah. Selama pengadilan belum melakukan vonis hukuman atas pelanggaran hukum yang dilakukan tersangka dan statusnya menjadi terpidana, maka semua lembaga hukum berkewajiban memegang prinsip praduga tidak bersalah itu,” kata Anang. (rim)