Obat Covid-19 temuan Universitas Airlangga bekerjasama dengan TNI AD dan BIN menuai kontroversi.

Bongkah.id – Obat Covid-19 temuan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bekerjasama dengan TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) mulai diragukan banyak pihak. Pasca ultimatum gugatan dari ahli epidemiologi, Satgas Penanganan Covid-19 pun meminta perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya itu menjelaskan prosedur riset dan uji klinis obat tersebut.

Permintaan ini bukan tanpa alasan. Terlepas dari kontroversi yang mencuat belakangan, Satgas menilai cairan atau obat yang akan dimasukkan ke dalam tubuh manusia tidak boleh sembarangan.

ads

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, obat atau cairan medis yang akan digunakan masyarakat harus aman. Penemuan itu berasal dari penelitian yang benar dengan prosedur dan uji klinis yang ketat sesuai standar internasional.

“Agar obatnya aman dan benar-benar untuk menyembuhkan, bukan sebaliknya,” tandas dalam konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (18/8/2020).

Wiku menyebutkan, obat Covid-19 Unair sampai saat ini belum memperoleh izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Karena selama ini masih dalam proses uji klinis dan baru akan diajukan ke BPOM untuk mengantongi perizinan edar.

“Setelah disampaikan Unair kepada pemerintah dalam hal ini BPOM bisa jadi bahan review dan bisa untuk uji edar. Prinsipnya adalah aman dan efektif. WHO sampai sekarang belum menentukan obat standar paling efektif untuk menyembuhkan Covid-19,” ujar Wiku.

Menurut Wiku, Unair dan institusi yang terlibat dalam penemuan obat Covid-19 itu tentu tidak akan keberatan menjelaskan detil hasil risetnya jika memang telah melalui prsedur yang benar dan sesuai standar.

“Pasti tidak keberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan uji klinis yang sedang dijalankan,” kata Wiku.

Sebelumnya tim gabungan antara Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI AD mengklaim sudah menemukan obat Covid-19 pertama di dunia. Obat yang diracik dari lima kombinasi ramuan medis itu dikklaim mamp0u menyembuhkan pasien Covid-19 dengan tingkat keampuhan 98%.

Obat yang dikombinasikan itu memang sudah beredar di pasaran seperti Lopinavir/Ritonavir-Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir-Doxycycline; serta Hydrochloroquine-Azithromycin. Wiku mengatakan upaya untuk menemukan obat yang tepat telah dilakukan berbagai pihak di dunia termasuk di Indonesia, dan tidak hanya obat tunggal tapi juga berbentuk regimen (kombinasi).

“Unair dalam menjalankan testing atau uji klinis dari obat yang dikembangkan berupa redimen tersebut sudah melalui kaji etik di universitas-nya dan transparansi publik sangat diperlukan,” ungkap Wiku.

Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, tim Unair mengatakan tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja melainkan melakukan uji klinis pada 13 titik di Indonesia. Masing-masing titik dikoordinasikan oleh salah seorang dokter profesional.

Rektor Unair Moh Nasih pun berharap kepada pihak BPOM untuk memperlancar izin produksinya sehingga obat tersebut dapat diproduksi secara massal untuk kepentingan masyarakat Indonesia. (Baca: Obat Covid-19 Temuan TNI AD, BIN dan Unair Siap Diproduksi Massal).

Ahli Epidemiologi Ancam Layangkan Gugatan

Belakangan, obat tersebut menuai pro kontra hingga ancaman gugatan. Salah satunya datang dari ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono yang akan melayangkan gugatan jika BPOM memberi izin untuk produksi massal obat tersebut.

“Saya akan menggugatnya bukan ke TNI atau BIN, tapi ke akademis Unairnya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan. Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu,” tegas Pandu, Minggu (16/8/2020).

Penilaian yang melatari munculnya ultimatum gugatan dari Pandu senada dengan pendapat Satgas Penanganan Covid-19. Yakni tentang prosedur riset dan uji klinis hingga ditemukannya obat tersebut.

“Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya, saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya. Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat,” setusnya.

Menurut Pandu, semua tahu bahwa Covid-19 ini bencana dunia, tetapi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur. Di Indonesia pun, Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh terhadap regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat.

“Buat apa mengobati kalau tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine, hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covid karena ada efek sampingnya yang sampai meninggal,” ungkapnya.

Karena itu, Pandu mempertanyakan kenapa Unair tidak bekerja sama dengan lembaga penelitian lainnya agar ada saling koreksi dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI.

“Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi,” ujar Pandu. (bid)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini