by Rachmat Faqih
DALAM sebuah riwayat, Imam Shadiq menyebutkan sebuah kitab dengan nama Ism Akbar yang terdapat pada seluruh nabi dan bahkan para washinya. Dalam kitab itu terdapat ilmu terhadap segala sesuatu. Dalam hadits ini, disebutkan nama-nama para nabi seperti Nabi Saleh As, Nabi Syits As dan nama-nama nabi lainnya.
Selain itu, nama-nama nabi yang memiliki kitab disebutkan namanya. Nama mereka tidak tersurat dalam Al-Qur’an dan riwayat. Nama nabi-nabi yang tersurat itu merujuk pada sejarah dan bukti-bukti dalam literatur Islam, yang dapat dibuktikan.
Misalnya, definisi para nabi ulul azmi. Para nabi ulul azmi adalah nabi-nabi yang memiliki kitab. Dalam Al-Qur’an dan riwayat tidak menyebutkan nama-nama atas jumlah 104 kitab, seperti nama kitab Nabi Nuh As tidak disebutkan. Sebaliknya dalam riwayat lain, disebutkan sebagai Shuhuf Nabi Nuh.
Dalam beberapa literatur agama, terkait dengan masa diturunkannya kitab-kitab samawi disebutkan dalam beberapa riwayat, bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah (langit dunia), dan hal ini terjadi pada malam Lailatul Qadar.
Selanjutnya ayat demi ayat diturunkan secara bertahap pada Rasulullah Muhammad Saw selama 23 tahun sesuai kebutuhan sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi. Turunnya Al-Qur’an pertama kali ke bumi inilah yang kemudian disebut Nuzulul Quran.
Terdapat perkataan Ibnu Abbas, bahwa “Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadan pada malam Lailatul Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya sebagian demi sebagian secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.”
Teori kedua, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia selama 20 malam Lailatul Qadar dalam 20 tahun, sementara Lailatul Qadar hanya turun sekali dalam setahun. Setelah itu ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dibacakan kepada Nabi Muhammad sesuai dengan kebutuhan umat. Teori berikutnya, menyatakan Al-Qur’an turun pertama kali pada malam Lailatul Qadar. Selanjutnya, diturunkan ke bumi secara bertahap dalam waktu yang berbeda-beda.
Dari ketiga teori tersebut, yang paling banyak dianut adalah teori pertama. Turunnya Al-Qur’an ke dunia ditandai dengan datangnya Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu pertama pada Nabi Muhammad di Gua Hira, yaitu Surah Al-Alaq ayat 1-5 yang isinya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantaraan) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Setelah Rasulullah lancar mengucapkan lima ayat itu, maka Jibril langsung pergi. Namun, lima ayat Surat Al-Alaq itu terpateri dalam kalbunya. Dalam keadaan masih gelisah, pria berusia 40 tahun 6 bulan 12 hari perhitungan Hijriyah (39 tahun 3 bulan 20 hari perhitungan Masehi) itu pulang. Ia meminta isteri tercintanya, Siti Khadijah untuk menyelimutinya. Tubuhnya ketika itu menggigil seperti dalam demam.
“Sesungguhnya aku mencemaskan diriku,” katanya kepada isteri yang telah memberinya dua anak putra dan empat anak putri itu.
Mendengar suara ketakutan suami tercintanya itu, Khadijah dengan penuh kasih menenangkan suaminya, “Demi Alloh, Alloh selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengupayakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran“.
Untuk meyakinkan, Khadijah mengajak Rasullullah menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza. Dalam Sirah Rasulullah yang disusun pada abad ke-8, Ibn Ishaq menggambarkan, Waraqah merupakan salah satu dari empat orang hanif di Makkah pada saat itu.
Tiga orang selain Waraqah adalah Abdullah bin Jahsy, Zayd bin Amir, dan Utsman bin Huwayrits. Sikap hanif mereka sandang, karena prinsipnya dalam mempertahankan kemurnian tauhid Ibrahim sebagaimana yang dilakukan kakek dan paman Rasulullah, Abdul Mutholib dan Abu Tholib.
Rasulullah mengenal dekat Waraqah, karena hubungan pernikahan. Waraqah adalah sepupu Khadijah dan mereka berdua sangat akrab. Sejak muda, Waraqah tekun mempelajari Injil dan manuskrip-manuskrip kuno Nestorian, yang di antaranya meramalkan kedatangan seorang nabi baru. Ia juga mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani, bahkan menulis Injil dalam bahasa Ibrani dengan bagus.
Pada awalnya, Waraqah seorang penyembah berhala. Sama seperti orang Makkah umumnya. Kemudian ia berpindah keyakinan menjadi penganut Kristen Nestorian. Reputasinya lumayan baik di Makkah, meski sering mengkritik penyembahan berhala.
Setelah mendengar penjelasan Khadijah atas kondisi Rasulullah yang gemetaran, Waraqah yang telah setengah buta lantaran usianya yang sudah lanjut itu meyakinkan Khadijah, bahwa suaminya kemungkinan besar seorang nabi sebagaimana disebutkan dalam Injil dan Taurat. Demikian pula di manuskrip-manuskrip kuno yang dibacanya.
“Berbahagialah, oh anak pamanku, dan tenteramkanlah hatimu. Sesungguhnya, demi Dia yang menggenggam jiwa Khadijah, aku berharap engkau akan menjadi nabi bagi kaum ini,” tutur Waraqah seperti dikisahkan Ibn Ishaq (berdasarkan terjemahan Alfred Guillaume dalam karyanya berjudul The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah terbit 1955).
Selain itu, Waraqah juga menyatakan dukungan dan mengimani Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Ia mengaku telah menemukan apa yang selama ini dipertanyakan dari isi Injil, Taurat, dan manuskrip-manuskrip kuno yang dibacanya.
“Dia (Waraqah) memberi Muhammad semangat yang penting ketika Muhammad mulai menerima wahyu yang dipercayai datang dari Tuhan,” ungkap Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011: 78).
Dengan dorongan dan dukungan Waraqah, Rasulullah mulai menepis kegelisahannya atas pengalaman spiritualnya di gua Hira. Khadijah juga kian mantap mendampinginya. Keterangan dari Waraqah sekaligus mengurangi kekhawatirannya. Dianggap masyarakat Makkah sebagai tukang sihir atau orang gila yang kesurupan.
Waraqah kemudian memperingatkan tugas kenabian yang menantinya sangat berat. Nabi-nabi besar sebelumnya, kata Waraqah, selalu tidak mendapat tempat semestinya dalam masyarakat.
Menjadi nabi adalah tersingkir dan kesepian. Tapi Waraqah tetap memberi garansi: dirinya akan senantiasa melindungi dan menolong, kalau saja dirinya masih hidup di saat masyarakat Makkah menganiaya Muhammad.
Berdasar kisah-kisah tentang Waraqah yang diceritakan Ibn Ishaq dan beberapa riwayat itu benar, maka Waraqah merupakan orang pertama yang mengakui kenabian Muhammad. Waraqah konon tidak sempat memeluk Islam dan melindungi Muhammad sebagai nabi. Ia keburu meninggal tak lama sesudah peristiwa gua Hira. (habis)