bongkah.id – Polemik beredarnya lima versi draf Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja, secara pelahan dan pasti terungkap. Draf yang disahkan dalam Rapar Paripurna DPR RI pada 5 Oktober lalu, sebenarnya bukan draf final. Itu berdasar jumlahnya halaman yang sebanyak 1.028 lembar, sebagaimana yang dapat diundu diunduh di situs resmi DPR RI dengan link http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200605-100224-2372.pdf.
Fakta itu tercermin dari pernyataan Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas. Secara tegas diakui, bahwa draf UU Cipta Kerja sempat mengalami simplifikasi atau penyederhanaan dalam proses edit draf Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Proses itu terjadi setelah pengesahaan yang dilakukan DPR RI dalam Rapat Paripurna. Proses edit itu terkait dengan Pasal 79, Pasal 88 A, dan Pasal 154 di klaster ketenagakerjaan Omnibus Law.
Pasal-pasal tersebut, menurut dia, diputuskan dikembalikan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 161 hingga 172 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam rapat Panitia Kerja UU Ciptaker di Baleg. Perubahan itu tidak mengubah substansi yang ada.
“Jadi, ketentuan Pasal 161 sampai dengan pasal 172 UU Ketenagakerjaan di tingkat Panja itu, kita putuskan kembali ke existing (yang sudah ada),” kata Supratman dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (13/10).
Sementara pada saat dilakukan editing di dalamnya, diakui, ternyata terjadi disimplifikasi. Karena itu, akhirnya dikembalikan ke posisinya bahwa semua ketentuan Pasal 161 sampai dengan Pasal 172 itu dicantumkan di dalam Pasal 154 UU Ciptaker. Soal penambahan ayat dalam Pasal 79 draf UU Ciptaker versi 812 halaman disesuaikan dengan keputusan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Proses perbaikan terhadap draf UU Ciptaker ini, dipastikan, tidak mengubah substansi. Ia menyebut pihaknya bersama pemerintah telah menyisir satu per satu pasal, agar sesuai dengan hasil pembahasan dan kesepakatan.
“Kami membaca satu per satu terhadap materi muatan yang diputuskan dalam rapat paripurna, kemudian kami kembalikan kepada Setjen DPR RI, sesuai dengan draf yang terakhir disampaikan oleh Azis Syamsuddin,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, draf final UU Ciptaker berjumlah 812 halaman. Dia menyatakan, DPR RI akan menyerahkan draf UU Ciptaker tersebut ke Presiden Joko Widodo pada Rabu (14/10/2020) besok pagi. Keputusan itu sesuai dengan waktu yang dimiliki DPR RI selama tujuh hari untuk menyerahkan draf sebuah regulasi yang telah disahkan dalam rapat paripurna ke pemerintah, sebagaimana diatur dalam UU dan Tata Tertib DPR. Tenggat itu akan jatuh pada Rabu (14/10) pukul 23:59.
ABAIKAN PROSES FORMAL
Sebelumnya anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan, pembahasan Undang-undang Omnibus Law UU Cipta Kerja sebenarnya sudah mengabaikan proses formal. Fakta itu terlihat dari banyaknya versi draf UU tersebut yang beredar di publik sejak disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10/2020) lalu.
“Terjadinya perubahan draf UU Omnibus Law Cipta Kerja beberapa hari terakhir itu membuktikan, telah terjadi proses formil yang diabaikan saat membahas UU sapu jagat ini,” kata Mardani lewat pesan singkat yang diterima bongkah.id, Selasa (13/10/2020) sore.
Ditegaskan, seluruh versi UU Ciptaker tidak mengubah substansi regulasi secara keseluruhan. Sejumlah klaster di UU itu merugikan masyarakat. Fakta itu juga tersurat dalam klaster ketenagakerjaan. Karena itu, PKS akan menelusuri satu persatu pasal untuk menemukan pasal gaib dalam draf terakhir yang diterima.
“Tidak hanya klaster ketenagakerjaan yang menjadi masalah, tapi ada klaster-klaster lain yang merugikan masyarakat cukup banyak. Fakta ini tidak bisa dipungkiri, karena penyusunan draf dilakukan secara borongan mengejar waktu dead line,” kata anggota DPR dari Dapil DKI Jakarta I (Jakarta Timur) tersebut.
Berangkat dari kepentingan masyarakat Indonesia, Mardani mendesak pemerintah segera meliris draf UU Ciptaker yang resmi. Teknik ini untuk menetralisir kesimpangsiuran informasi di tengah masyarakat, yang berpotensi terus terjadi jika hal tersebut tidak secepatnya di buka ke publik sebelum diundangkan.
Menurut dia, seluruh pemangku kepentingan harus memetik pelajaran penting dari pembahasan UU Cipta Kerja ini. Pasalnya pembahasan sebuah regulasi tidak boleh dianggap enteng, karena sebuah Undang-Undang itu mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai informasi, Rapat Paripurna DPR RI untuk pengesahaan UU Cipta Kerja semula ditetapkan 8 Oktober 2020. Namun dipercepat tiga hari. Yakti pada 5 Oktober 2020. Jumlah halaman draf UU Cipta Kerja sejak disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, Senin (5/10), terus mengalami perubahan halaman secara signifikan. Pun mencurigakan. Setidaknya ada lima versi UU Cipta Kerja yang beredar di publik.
Kelima versi draf UU Ciptaker itu adalah 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman, dan yang terbaru hingga kemarin ada 812 halaman. Selain itu, perubahan frasa hingga penambahan ayat juga terlihat di lima versi draf UU Ciptaker, yang telah beredar di publik tersebut.
Ada draf yang sudah diunggah di situs resmi DPR RI, ada pula yang belum terkonfirmasi. Dua draf terakhir, yakni yang berjumlah 1.035 dan yang terbaru 812 halaman pun sudah dikonfirmasi Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar.
Menurut Indra Iskandar, perubahan jumlah halaman di draf Omnibus Law UU Cipta Kerja terjadi akibat penggantian ukuran kertas. Sebelumnya naskah UU diketik di kertas ukuran A4. Selanjutnya dipindahkan di kertas ukuran legal, sebagaimana persyaratan yang ditetapkan di DPR RI.
Pada Senin (12/10/2020) malam, jumlah halaman draf UU tersebut yang disebutkan telah final sebanyak 1.035 halaman. Namun, dikabarkan berubah menjadi 812 halaman. Indra mengonfirmasi, draf UU setebal 812 halaman itu merupakan draf yang final.
“Iya, dengan format kertas ukuran legal, maka jumlah halaman draf mengalami penyusutan. Dari 1.035 halaman menjadi 812 halaman,” katanya. (rim)