by Rachmat Faqih
SELAMA ini mayoritas kaum muslim meyakini yang terjadi dalam bulan Ramadan hanya peristiwa Allow SWT menurunkan Surat Al-Alaq ayat 1-5 pada Rasulullah Muhammad Saw oleh Malaikat Jibril, 17 Ramadan. Kemudian dikenal sebagai Nuzulul Quran. Yang sekaligus pengangkatan putra dari Abdullah bin Abdul Mutholib dan Siti Aminah Az- Zuriyah binti Wahab itu sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Ini karena pengetahuan yang diajarkan di sekolah. Demikian pula buku-buku umum yang mengupas tentang keistimewaan Ramadhan.
Sementara fakta yang terjadi, tidak demikian. Keistimewaan Ramadan tidak hanya dihiasi oleh turunnya lima ayat Surat Al-Alaq di Gua Hiro, Jabal Nur, saja. Pemikir dan ulama muslim Al Hafidh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah menjelaskan, Alloh menyanjung bulan Ramadan diatas bulan-bulan yang lain, yaitu dengan memilihnya sebagai bulan dimana kesemua kitab-kitab suci diturunkan di dalamnya.
Penjelasan itu berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ath-Thabrani, Imam Ibnu Mardawaih, Al Baihaqi yang mengatakan, bahwa “Rasulullah bersabda: Naskah-naskah (shuhuf) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan.
Taurat diturunkan pada tanggal enam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal tiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas bulan Ramadhan, dan Al Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan“.
Mencermati tarikh (sejarah) turunnya shuhuf dan empat kitab suci di bulan yang sama, Ramadhan. Bukan sebuah hal berlebihan jika para ulama menyebut Ramadhan sebagai bulan kitab suci. Bulan yang memiliki hubungan erat dengan wahyu Alloh.
Bahkan di masa kenabian Rasulullah Muhammad Saw pada setiap Ramadhan, Alloh selalu mengutus Malaikat Jibril untuk turun ke bumi. Menjumpai Rasulullah untuk mendengar atau memperdengarkan firman-firman Alloh dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan. Sebuah pertemuan suci yang oleh para ulama disebut sebagai media evaluasi.
Selain untuk meneguhkan firman-firman tersebut telah terpatri dalam sanubari Rasulullah. Juga, sebagai aplikasi atas janji Alloh yang akan menjaga kemurnian Al-Qur’an. Kitab suci bagi seluruh umat manusia yang akan menjadi pedoman hidup di dunia, untuk kemuliaan hidup di akhirat.
Sebagai kitab penuh dengan ajaran kebaikan. Janji Alloh akan menjaga kandungan isi Al-Qur’an itu tersurat dalam QS. Al-Hijr: 9, “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya“.
Janji Alloh itu bersifat abadi sampai hari akhir, kiamat kubro. Al-Qur’an akan terpelihara sejak pertama diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Alloh memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya.
Sementara setelah diturunkan, Alloh menyimpannya di hati Rasulullah, kemudian di hati umatnya. Alloh menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Alloh juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian.
Sebagaimana Alloh menjaga Al-Qur’an di hati umatnya, begitu pula Alloh menjaga kemurnian syariat Islam, sebagaiman firman Alloh: “Mereka ingin memadamkan ‘cahaya Alloh’ dengan mulut mereka, namun Alloh menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya“. (QS. Attaubah: 32).
Tokoh pembaharu asal Mesir, Muhammad Abduh dalam karyanya Risalah at-Tawhid (1897) menegaskan, bahwa setiap muslim dituntut untuk wajib mengimani akan keberadaan kitab-kitab terdahulu seperti Zabur, Taurat dan Injil atau beberapa sahifah (shuhuf), sebagai firman Alloh yang diturunkan kepada para rasulNya sebelum Rasulullah Muhammad Saw. Kendati demikian, tidak ada ayat dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menganjurkan umat Muhammad untuk mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Sementara terhadap Al-Qur’an, kaum muslim tidak hanya diwajibkan untuk mengimani. Juga, dituntut untuk mengutamakan pengamalan ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an dalam realitas kehidupan.
Ini karena firman Alloh dalam Al-Qur’an merupakan penyempurnaan dari firman Alloh yang ada dalam kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Demikian pula semua shuhuf yang diturunkan pada para nabi.
Artinya, ajaran-ajaran dalam Taurat, Zabur, Injil, dan shuhuf yang masih relevan dengan kehidupan manusia, otomatis telah diakomodir di dalam Al-Qur’an. Sementara yang tidak relevan dengan kehidupan manusia pasca perkembangan Islam, telah dinasakh sendiri oleh Alloh.
Karena itu, tidak tercantum dalam Al-Qur’an. Dengan demikian mengimani dan mengamalkan Al-Qur’an, sejatinya telah mencakupi pengamalan terhadap kitab-kitab sebelumnya dan shuhuf para nabi. (bersambung)