Bongkah.id – Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 persen ternyata permainan kata-kata belaka. Tarif BPJS yang dikembalikan semula sebelum kenaikan hanya berlaku sampai Juni 2020, bulan berikutnya iuran naik lagi.
Rincian iuran BPJS tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diterbitkan Selasa (12/5/2020). Perpres itu sejatinya menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan tarif BPJS 100 persen karena beberapa pasal bertentangan dengan UU Kesehatan.
Terbitnya perpres untuk membatalkan kenaikan tarif 100 persen itu sempat membawa angin segar. Iuran BPJS kelas I dari Rp 160.000 kembali turun di angka Rp 80.000.
Lalu iuran kelas II Rp 110.000 setelah kenaikan kini menjadi Rp 51.000 dan untuk kelas III dari Rp 42.000 menjadi Rp 25.500. Pembatalan kenaikan iuran mulai berlaku April.
Tetapi ketika didalami lagi, ternyata tarif tersebut hanya berlaku selama tiga bulan mulai April sampai Juni 2020. Pasal 34 ayat 6 Perpres 64/2020 menyatakan iuran BPJS Kesehatan kembali naik mulai Juli 2020.
Pada Pasal 34 ayat 3 dalam Perpres disebutkan, iuran peserta BPJS Mandiri kelas I menjadi Rp 150.000 per Juli 2020. Untuk iuran peserta kelas II sebagaimana tertuang pada ayat 2, besaran tarifnya menjadi Rp 100.000.
Adapun iuran untuk peserta kelas III ditetapkan sebesar Rp 42.000 mulai Juli 2020 dan tetap mendapat subsidi pemerintah Rp 16.500. Dengan demikian, sesuai ketentuan di pasal 34 ayat 1 Perpres tersebut, peserta cukup membayarkan iuran sebesar Rp 25.500.
“Untuk kelas III yang jumlahnya paling besar, masih diberikan subsidi tarifnya oleh pemerintah tahun ini,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.
Tetapi pasal 34 ayat 1 (b) menyebutkan, subsidi Rp 16.500 hanya berlaku sampai Desember 2020. Per Januari 2021, subsidi dipangkas menjadi Rp 7.5000 yang berarti mulai tahun depan peserta kelas III harus membayar iuran BPJS Rp 35.000.
Alasan pemerintah kembali menaikkan tarif BPJS Kesehatan karena ingin mempercepat pemulihan ekonomi dan reformasi sosial termasuk di dalamnya bidang kesehatan. Hal ini merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2021.
Kendati, Askolani menilai, penyesuaian tarif BPJS kesehatan yang baru tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tahun ini. Termasuk di tengah pembatasan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Kenaikan tarif BPJS ini menuai kritik banyak pihak. Sebagian menganggap, kebijakan tarif BPJS tersebut terkesan dipaksakan karena momentumnya tidak tepat.
“Kenapa tidak sekalian saja tahun 2021? Jadi penyempurnaan jaring pengaman kesehatan ini bisa dilakukan tuntas, tidak dilakukan parsial seperti ini yang justru menimbulkan perspektif negatif,” tandas Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah.
Meski ia menyadari jika penyesuaian iuran tersebut sebagai bagian dari penyehatan keuangan BPJS Kesehatan termasuk memperbaiki jaring pengaman kesehatan. Namun, menurut Piter, seharusnya pemerintah dapat mempertimbangkan kenaikan iuran itu ketika melakukan reformasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2021. (bid)