
bongkah.id – Penegakan hukum di Indonesia tidak mengenal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penegakan hukum hanya mengenal, pelanggar hukum harus ditangkap dan dipenjara. Karena itu, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tetap melakukan pengusutan laporan dugaan tindak pidana korupsi kepala daerah tetap berlangsung meski di tengah proses Pilkada Serentak 2020.
Demikian penjelasan Ketua KPK, Firli Bahuri saat ‘Pembekalan Calon Kepala Daerah (Cakada) Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang disiarkan di Youtube Kanal KPK, Selasa (10/11).
“Hukum dan politik merupakan dua rel yang berbeda. Karena itu, meski politik Pilkada sedang berlangsung pada saat ini, semua proses penegakan hukum di KPK tetap berjalan. Jangan anggap hukum berhenti di saat Pilkada. Penegakan hukum tidak akan terganggu oleh pelaksanaan pilkada,” katanya.
Kendati demikian, Firli tidak memungkiri jika penyelenggaraan Pilkada 2020 ini berpotensi menjadi pintu masuk korupsi oleh kepala daerah, baik berstatus petahana. Maupun berstatus penantang. Potensi itu kuat terjadi, akibat biaya menjadi peserta Pilkada yang sangat mahal. Karena itu, para calon kepala daerah periode 2020-2025 hendaknya tidak berbuat korupsi, setelah terpilih dan menjabat.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah korupsi, menurut alumni Akpol 1990 ini, adalah menghindari benturan kepentingan. Itu termasuk benturan kepentingan dalam pendanaan Pilkada 2020. Fakta itu tercermin dari tingginya jumlah kepala daerah yang harus dipenjarakan KPK. Sampai Oktober 2020, kepala daerah yang dipenjara dengan status koruptor sekitar 143 orang.
“Survei KPK di tahun 2018 memperlihatkan adanya 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai, mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Fakta itu membuktika jika tingginya biaya menjadi peserta Pilkada. Jumlah anggaran yang dibutuhkan, lebih tinggi dari harta kekayaan yang dimiliki para calon kepala daerah. Sehingga merangsang kemunculan kaum sponsor jabatan,” ujar jenderal bintang tiga itu.
Keterlibatan donatur peserta pilkada, dikatakan, tidak gratis. Donatur tersebut menerapkan ilmu bisnis. Menjadi donatur tersebut merupakan kebijakan spekulasi investasi. Biasanya para donatur tersebut bermain dua kaki. Membiayai peserta A dengan nama pribadi, sementara membiayai peserta B dan peserta lainnya dengan nama para koleganya.
Strategi tersebut, ditegaskan Firly, telah menjadi rahasia umum. Hanya saja pembuktiannya yang sulit. Artinya, para pemenang pilkada sebenarnya adalah para donatur tersebut. Bukan sosok yang dipilih pemilik suara di suatu daerah. Dan, siapa pun pemenang pilkada, maka donatur tersebut pasti akan meminta imbalan. Salah satunya bantuan kemudahan perizinan bisnisnya di daerah tersebut. Fakta yang berhasil dikumpulkan KPK, donatur tersebut meminta jatah proyek pemda dalam pengadaan barang dan jasa.
“Hasil telaah KPK dalam Pilkada 2018 menemukan data mayoritas calon kepala daerah dibiayai donatur. Sebanyak 83,80 persen dari 198 responden, mengutarakan siap memenuhi ambisi para donatur tersebut ketika menjabat,” ujarnya.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 miliar. Sementara biaya yang dibutuhkan untuk menjadi peserta pilkada, pasangan calon di tingkat kabupaten/ kota harus memegang uang antara Rp5-10 miliar. Untuk memenangkan pilkada, idealnya memiliki dana sekitar Rp65 miliar. Kekurangan dana merebut kemenangan itu, yang dipenuhi para donatur.
CALON TANGKAPAN
Dalam kesempatan sama, Firli juga mengungkapkan, pada saat ini tim penindakan siap menangkap kepala daerah yang diduga terlibat skandal korupsi. Jumlahnya dua kepala daerah. Jabatannya seorang bupati dan wali kota. Keduanya akan diseret ke kantor KPK di Kuningan, paling lambat 12 hari ke depan.
Karena itu, dua kepala daerah yang telah merasakan terlibat kandal korupsi, baik kecil atau besar yang sudah proses hukum, hendaknya datang sendiri secara diam-diam ke kantor KPK. Tanpa harus ramai-ramai menjadi sorotan media.
“Data yang sudah masuk, ada dua kepala daerah yang siap digelandang tim KPK. Paling lambat minggu depan. Karena itu, bupati dan wali kota yang merasa akan dijemput tim KPK, karena diduga terlibat skandal korupsi lebih baik datang sendiri untuk menyerahkan diri. Lebih baik sedikit malu daripada banyak malunya jika digelandang pesonil KPK, yang ditonton masyarakat se Indonesia,” kelakar Firli.
Pada kesempatan berbeda, pelaksana tugas Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, dua kepala daerah yang akan ditahan itu diduga terlibat dalam kasus gratifikasi. Menerima suap, karena menjanjikan keuntungan pada pihak pemberi suap. Dengan fakta tersebut, maka tersangka yang akan digelandang KPK adalah dua kepala daerah, perangkat kerjanya, dan pemberi suap. Jumlahnya berpotensi lebih dari 8 orang, untuk dua kasus berbeda di dua daerah.
Kedua kepala daerah tersangka terima gratifikasi itu, adalah Bupati Labuhanbatu Utara. Khairuddin Syah Sitorus diduga terima suap terkait pengurusan dana alokasi khusus (DAK) APBN-P 2017 dan APBN 2018 untuk Kabupaten Labuhanbatu Utara. Terduga wali kota-nya, adalah Wali Kota Dumai. Zulkifli Adnan Singkah diduga terima gratifikasi terkait DAK Kota Dumai dalam APBN-P Tahun 2017 dan APBN 2018.
Menurut Ali, kedua tersangka itu sudah dipanggil penyidik KPK pada Selasa (10/11) kemarin. Namun, KPK baru melakukan penahanan terhadap Khairuddin Syah saja. Ia sudah ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat selama 20 hari pertama, terhitung sejak 10 November hingga 29 November 2020.
Sementara Zulkifli belum ditahan. Yang bersangkutan meminta jadwal ulang pemeriksaan menjadi Selasa (17/11) pekan depan. Argumentasinya, dia tidak bisa meninggalkan agenda dinas yang sudah terjadwal. Sehingga meminta penjadwalan ulang.
Perkara yang menjerat dua kepala daerah tersebut, dikatakan, merupakan pengembangan dari dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018. Kasusnya bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jumat (4 Mei 2018) silam di Jakarta.
Dalam OTT tersebut, tim KPK menyita barang bukti uang sejumlah Rp400 juta. Pun telah menetapkan 6 orang tersangka. Yakni anggota Komisi XI DPR RI, Amin Santono, Eka Kamaluddin (swasta/perantara), Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo, serta Ahmad Ghiast (swasta/kontraktor), anggota DPR RI 2014-2019, Sukiman.
Selain itu, Pelaksana Tugas dan Pj. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua, Natan Pasomba. Saat ini, keenamnya telah di vonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. (rim)