tuwuhan pada acara pernikahan. Istimewa
tuwuhan pada acara pernikahan. Istimewa

Bongkah.id – Di pelataran rumah pengantin Jawa, berdirilah dua batang pohon pisang, lengkap dengan jantungnya yang menggantung malu-malu. Di sisi kanan dan kiri, seikat tebu wulung bersandar tenang. Di antara batang-batang itu, tergantung kelapa muda berwarna kuning, gading cengkir, namanya. Di ujungnya, janur yang dirangkai apik melambai halus diterpa angin pagi.

Itulah tuwuhan. Bukan sekadar hiasan adat. Ia adalah simbol dan juga doa.

ads

Dalam tradisi pernikahan Jawa, tuwuhan adalah lambang pertumbuhan. Dari kata dasar tuwuh, artinya tumbuh, rangkaian ini menjadi harapan agar pasangan pengantin dapat menapaki kehidupan bersama dengan subur, kokoh, dan penuh berkah.

Pohon pisang yang digunakan bukan sembarang pisang. Biasanya jenis pisang raja atau kluthuk, tumbuhan yang tidak hanya berbuah lebat, tetapi juga mampu bertunas lagi setelah mati. Seperti itulah harapan bagi keluarga baru, terus berkembang, beranak pinak, dan memberi manfaat bagi sekitar.

Di sampingnya, tebu wulung, dengan warna keunguan khasnya menyimbolkan manisnya hidup yang tidak dibuat-buat, hasil dari kesabaran dan keteguhan hati. Sementara itu, janur yang berwarna kuning pucat adalah lambang niat suci, tekad yang belum ternoda, awal dari jalan hidup baru.

Namun yang paling menyita perhatian adalah cengkir gading. Kelapa muda berwarna gading ini bukan sekadar buah. Ia adalah perlambang kematangan jiwa.

“Dalam filosofi Jawa, cengkir sering diartikan sebagai kenceng ing pikir (kemantapan berpikir). Sebuah pengingat, bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tapi juga kesiapan mental dan spiritual untuk mengarungi hidup berdua,” ujar panata Adhicara pernikahan di Jombang, Jawa Timur, Naimul Umam, Senin (2/6/2025).

Sementara Janur kuning, melambangkan kesucian, niat yang bersih, dan jalan hidup yang terang.

“Janur itu diambil dari kata ja’a nuurun berarti “telah datang cahaya” dalam bahasa Arab,” kata dia.

Mereka berdiri di depan rumah bukan untuk dipamerkan, tapi untuk mengabarkan kepada leluhur bahwa dua anak manusia siap menjalani laku hidup baru.

“Semua yang ada dalam tuwuhan itu adalah doa yang tak diucapkan,” jelasnya.

Dalam pernikahan adat Jawa, simbol-simbol seperti tuwuhan menjadi pengikat antara masa lalu dan masa depan, antara leluhur dan keturunan. Di tengah hiruk pikuk zaman modern, nilai-nilai ini tetap lestari, menjadikan pernikahan bukan sekadar seremoni, tetapi laku budaya yang penuh makna.

Dan ketika pasangan pengantin melangkah keluar dari rumah, melewati tuwuhan itu, seolah mereka melewati gerbang harapan menuju kehidupan yang terus bertumbuh, seperti pohon, seperti cinta yang dijaga. (ima/sip)

11

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini