Bongkah.id – Dampak pemekaran Papua menjadi tiga provinsi baru langsung mencuat. Konflik horisontal, terutama terkait perebutan lokasi ibuota provinsi mengemuka seiring pengesahan tiga Rencangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tiga RUU DOB Papua yakni Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah disahkan dalam rapat paripurna, Kamis (30/6/2022). Dengan penambahan 3 provinsi itu, saat ini jumlah provinsi di Indonesia menjadi sebanyak 37.
Konflik di tengah masyarakat mewarnai pengesahan RUU yang menetapkan Nabire menjadi ibu kota Papua Tengah. Sementara Jayawijaya akan disahkan sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan.
Namun sebagian masyarakat dan kepala daerah setempat meminta agar Timika-lah yang menjadi ibu kota Papua Tengah. Tak ayal, aksi protes masyarakat pun langsung meletus.
“Baru saja ada ide untuk pemekaran otonomi baru, sudah ada konflik,” kata pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristan Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun.
Dora menyebut ada juga sebagian masyarakat adat Nabire yang tak ingin daerahnya jadi ibu kota provinsi. “Mereka masih mau bergabung dengan Saerei, itu berarti bergabung dengan Biak dan Yapen Waropen,” tukasnya.
Tak hanya itu, ada juga sebagian masyarakat adat yang meminta agar wilayah mereka tetap bergabung dengan Provinsi Papua. Dora menyebut semua hal ini bisa menyebabkan konflik kembali.
“Kasihan masyarakat yang menonton situasi ini,” tandas politisi Partai Golkar ini.
Doli Kurnia ternyata sudah menyadari potensi masalah perebutan lokasi ibu kota bakal meletus ketika RUU DOB disahkan. Sesungguhnya, dia sudah meminta dilakukan musyawarah penentuan lokasi ibu kota untuk menghindari adanya pecah belah.
“Jadi apapun yang dihasilkan serta direkomendasikan oleh masyarakat Papua maka pasti akan kami terima. Jadi kita mendorong penyelesaiannya secara musyawarah mufakat,” ujarnya.
Dora khawatir, pemerintah pusat dan DPR akan datang ke Papua tidak segera menyelesaikannya konflik ini sebelum semakin meruncing. Bukan hanya soal konflik berkepanjangan, kekhawatiran juga muncul terjadi penambahan aparat militer ke Papua.
Hal mendesak lain yang harus menjadi prioritas yakni persiapan anggaran Pemilu 2024. Doli mengatakan, peningkatan anggaran pemilu diakibatkan jumlah institusi juga bertambah.
“Tadinya KPU provinsinya 34, sekarang otomatis menjadi 37, Bawaslu-nya juga begitu. Persiapan pemilunya tadinya di satu provinsi jadi empat provinsi, konsekuensinya pasti akan ke anggaran,” ujar Doli saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
Oleh karena itu, sejalan dengan pemekaran ini, pemerintah harus secepatnya membangun tambahan Polda dan Kodam. Hal itu mendesak dilakukan untuk menekan konflik agar tak sampai berlarut.
“Artinya ini bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi kepentingan bagaimana mendatangkan sebanyak-banyaknya militer di tanah Papua untuk mengurung OPM,” tukas etua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib.
Timotius Murib menyebut pemerintah dan DPR tak berpikir untuk kesejahteraan orang Papua dari pemekaran ini. “Tapi pemerintah saat ini, saya pikir bahwa mereka justru memburu sesuatu, atau mencari sesuatu di tanah Papua,” kata dia.
Timotius lalu menceritakan pertemuannya dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md di Jakarta bersama dua deputinya. Salah satu deputi, tambahnya, meminta MRP memahami bahwa DOB adalah kebijakan negara untuk memperpendek ruang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Sehingga, MRP tidak perlu banyak komentar, ini penyampaian dari salah satu deputi, saksinya banyak,” kata Timotius menirukan ucapan deputi tersebut.
Perwakilan Petisi Rakyat Papua, Ikha Mulait menyebut penambahan militer pasti akan dilakukan dengan pembentukan tiga provinsi baru ini. “Sekarang saja sudah trauma, apalagi sekarang mau ditambah dengan tiga provinsi dan pengerahan aparat,” ucapnya. (bid)