bongkah.id – Hari-hari kelabu dipastikan akan menimpa sekitar 700 karyawan kontrak PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Per 1 November besok, mereka akan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Maskapai Nasional itu berjanji memenuhi seluruh hak karyawan yang terdampak sesuai peraturan yang berlaku. Itu termasuk pembayaran di awal atas kewajiban perusahaan terhadap sisa masa kontrak karyawan.
Nasib pahit yang dialami para karyawan kontrak yang sejak Mei silam telah dirumahkan itu, membuktikan covid effect sangat dirasakan keuangan BUMN transportasi tersebut. Sehingga suntikan dana talangan dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun pada akhir tahun 2020 ini, ternyata potensinya sangat meragukan. Dipastikan tidak akan mampu membiayai semua kebutuhan secara maksimal.
Karena itu, manajemen perusahaan pelat merah itu berspekulasi melakukan PHK massal atas karyawan kontrakan. Namun, keputusan berat itu pun secara bisnis bukan solusi terbaik. Hanya menjadi solusi terbaik dari yang terburuk untuk saat ini. Artinya, kebijakan PHK karyawan itu peluangnya besar untuk terjadi kembali. Sebuah kebijakan bisnis dalam mengurangi beban perusahaan beradaptasi, dengan turunnya demand layanan penerbangan pada masa pandemi Covid-19 yang tidak diketahui waktu akhirnya.
“Kebijakan tersebut merupakan keputusan sulit yang terpaksa kami ambil, setelah melakukan berbagai upaya penyelamatan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan di tengah tantangan dampak pandemi covid-19,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam keterangan resminya, Jumat (30/10/2020).
Sejak awal, menurut dia, kepentingan karyawan merupakan prioritas utama yang dikedepankan perusahaan. Ketika maskapai lain mulai mengimplementasikan kebijakan pengurangan karyawan, perseroan terus berupaya mengoptimalkan langkah strategis. Memastikan perbaikan kinerja demi kepentingan karyawan dan masa depan bisnis perusahaan.
Kendati demikian, pada titik ini sebuah keputusan berat terpaksa harus dilakukan perusahaan di tengah pandemi, yang masih penuh dengan ketidakpastian sejak terjadi pada Maret silam. Menerapkan kebijakan PHK pada sedikitnya 700 karyawan kontrak yang sejk Mei lalu sudah dirumahkan. Sebuah kebijakan yang sama dengan yang dilakukan perusahaan transportasi udara di Indonesia. Demikian pula yang ada di luar negeri.
Perbedaan yang dilakukan PT Garuda Indonesia, manajemen memastikan akan memenuhi seluruh hak karyawan yang terdampak, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya termasuk pembayaran di awal atas kewajiban perusahaan terhadap sisa masa kontrak karyawan.
Sedangkan hak-hak pekerja kontrak yang mengalami PHK, jika mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada pasal 56, hubungan kerja kontrak didefinisikan sebagai:
1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu
Sementara pada Pasal 62, dinyatakan apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena pekerja meninggal dunia, berakhirnya masa perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan, atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, maka pihak pemutus hubungan kerja harus membayar ganti rugi.
“Pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja,” seperti dikutip dari Pasal 62 UU Nomor 13 tahun 2003 tersebut.
Artinya, pekerja berhak menerima bayaran hingga masa kontrak yang tertulis dalam perjanjian. Misalnya, kontrak kerja dinyatakan berakhir pada Mei 2021, namun terjadi pemutusan kontrak lebih awal, yaitu pada November 2020. Maka, pekerja masih berhak menerima ganti rugi sebesar upah hingga Mei tahun depan.
Selain itu, jika di dalam surat kesepakatan kerja bersama (KKB) dirincikan hak atau santunan lainnya, maka karyawan juga berhak mengklaim hak-hak tersebut.
DANA TALANGAN
Sebelumnya untuk menopang masalah keuangan yang mendera perusahaan pelat merah ini, pemerintah merestui Garuda Indonesia mendapatkan dana talangan. Nilainya sebesar Rp8,5 triliun. Dana yang diharapkan cair pada akhir tahun itu, diusulkan Dirut Irfan Setiaputra dalam bentuk Mandatory Convertible Bond (MCB) atau obligasi konversi.
Ia menuturkan obligasi konversi itu diusulkan memiliki tenor tiga tahun, atau jatuh tempo pada 2023. Pertimbangannya, memberikan kesempatan bagi manajemen perusahaan untuk memperbaiki fundamental. Perseroan sendiri telah menyiapkan tiga mekanisme pembayaran jatuh tempo pada 2023.
Pertama, perusahaan akan membayar obligasi konversi tersebut. Kedua, dengan asumsi industri penerbangan sudah membaik, maka perseroan bisa mengambil pinjaman luar negeri untuk membiayai obligasi jatuh tempo tersebut.
Ketiga, obligasi konversi ini diubah menjadi penempatan modal dan memberi kesempatan ke pemegang saham minoritas untuk berpartisipasi.
“Kalau dihitung, kami mintanya (tenor) selama-lama mungkin. Tapi, tiga tahun itu menurut kami mesti diberi kesempatan dan mandat manajemen untuk juga bekerja keras. Kalau lima tahun kami khawatirnya manajemen Garuda ini take it terlalu easy situasinya,” ujarnya. (ima)