Bupati Mojokerto Gus Barraa: Itu urusan internal KONI
Bongkah.id – Mundurnya tiga pengurus inti Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Mojokerto menjadi sinyal kuat adanya persoalan laten dalam tubuh organisasi olahraga tingkat daerah. Fenomena ini sekaligus membuka tabir lemahnya komunikasi dan manajemen internal dalam lembaga yang seharusnya menjadi motor penggerak prestasi olahraga lokal.
Tiga nama penting dalam struktur kepengurusan periode 2025–2029 secara hampir bersamaan memilih hengkang. Mereka adalah Kasiono (Sekretaris Umum), dr. Nunun (Wakil Ketua II), dan Mustiko Romadhoni (Divisi Hukum). Dari tiga surat pengunduran diri yang masuk, dua di antaranya secara tegas menyebut alasan ketidaknyamanan karena merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan organisasi.
Pengunduran diri ini tentu bukan sekadar urusan personal. Di balik keputusan itu, terdapat sinyal ketidakberesan dalam pola komunikasi dan iklim kerja di tubuh KONI.
Meski demikian, Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra enggan berspekulasi. Ia menegaskan belum menerima tembusan resmi pengunduran diri dari ketiga nama tersebut.
“Saya sampai sekarang belum ketemu Ketua KONI maupun pengurusnya. Belum tahu isi suratnya juga,” kata Bupati Mojokerto Gus Barraa usai rapat paripurna DPRD, Selasa (29/7/2025).
Lebih jauh, Bupati menekankan bahwa KONI merupakan organisasi independen di luar struktur pemerintahan daerah. “Itu urusan internal KONI. Saya kira mereka bisa menyelesaikan secara internal,” ujarnya diplomatis.
Namun publik olahraga tidak bisa menutup mata. Kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi di tubuh KONI berbagai daerah. Ketika komunikasi internal buruk, transparansi rendah, dan pengambilan keputusan hanya terpusat pada segelintir orang, maka potensi konflik horizontal akan terus berulang.
Minimnya respons terbuka dari Ketua KONI Mojokerto, Imam Suyono, menambah daftar pertanyaan. Saat dihubungi, ia hanya menjawab singkat via pesan WhatsApp: “Ya, betul,” tanpa keterangan lebih lanjut.
Pengamat olahraga daerah menyebut, kondisi seperti ini menjadi tantangan besar bagi dunia olahraga Indonesia. Bukan semata soal regenerasi atlet, tetapi juga tentang leadership, tata kelola, dan keterbukaan organisasi yang seharusnya melayani kepentingan publik olahraga.
Jika akar persoalan tak segera dibenahi, bukan tidak mungkin prestasi olahraga di tingkat kabupaten hanya akan menjadi seremonial, tanpa arah dan pencapaian berarti. (ima/sip)