bongkah.id – Kluster Pajak dalam Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak memberikan manfaat terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Selain berpotensi menggerus pendapatan asli daerah (PAD). UU yang berjubel kontroversi itu akan menjadi “karpet merah” para pengemplang pajak.
Demikian penilaian Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama dalam diskusi bertajuk Omnibus Law Klaster Perpajakan: Jurus Jitu Mendongkrak Investasi? yang digelar Indef, Senin (26/10/2020).
Potensi tergerusnya PAD oleh UU Cipta Kerja tersebut, menurut dia, karena adanya Pasal 156A dalam undang-undang tersebut. Pasal tersebut memberi kekuasaan pemerintah pusat untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan perpajakan dan retribusi daerah (PDRD) jika dinilai tak sejalan dengan agenda pemerintah pusat.
Potensi itu disampaikan dengan mencuplik Pasal 156A UU Cipta Kerja yang berbunyi; “Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan perlindungan dan pengaturan yang berkeadilan, pemerintah sesuai program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.”
“Secara hukum, pasal 156A UU Cipta kerja tersebut berpotensi mengurangi PAD dari PDRD. Kondisi itu akan meningkatkan ketergantungan pada dana transfer daerah,” katanya.
Ditegaskan, kondisi itu akan melahirkan akibat lain dari deregulasi keuangan pemerintah daerah dalam UU Ciptaker. Salah satunya membuat daerah kehilangan kemandiriannya. Pasal tersebut secara implisit membuat daerah tidak punya kewenangan lagi terhadap penetapan PDRD-nya. Pasal itu berakibat PDRD akan disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat. Bukan bukan mengacu pada kebijakan kepala daerah dalam mengatur perolehan pajaknya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Indef M. Rizal Taufikurahman menyarankan, pencabutan wewenang daerah atas PDRD yang tersurat dalam UU Ciptaker hendaknya dipertimbangkan ulang. Substansinya tetap sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009.
Karena itu, disarankan substansi UU Cipta Kerja sebaiknya tidak perlu merasionalisasi pajak daerah. Demikian pula retribusi daerah ke pemerintah pusat. Jika pemerintah pusat memaksakan, dapat dipastikan perolehan pajak di daerah akan mengalami kemerosotan. Efek dominonya akan terjadi pada pembangunan daerah di segala bidang.
“Idealnya kembalikan wewenang daerah dalam bidang perpajakan pada UU Nomor 28 tahun 2009, yang berhasil mendukung konsep dan sistem pembangunan di daerah. Semangatnya tetap desentralisasi. Mendekatkan pelayanan masyarakat dan menyelesaikan masalah sesuai dengan daerah masing-masing,” katanya.
Potensi kehilangan PAD secara nyata, diyakini, sangat mempengaruhi penurunan PDRB riil hampir di semua provinsi. Dalam simulasinya, penurunan PDRB riil di level provinsi beragam pada rentang minus 0,22 persen hingga minus 9,38 persen. Paling rendah terjadi pada provinsi di Indonesia Timur. Sementara paling tinggi di mayoritas Pulau Jawa.
“Berdasar dampak negatif terhadap PAD dan PDRD dari UU Cipta Kerja, maka status UU tersebut tidak menstimulus fiskal terdistribusi secara merata. Sebaliknya, justru penurunan terjadi dan dampaknya ke PDB nasional,” ujarnya.
KARPET MERAH
Dalam kesempatan sama, Ekonom Indef Nailul Huda menilai, kluster perpajakan dalam UU Cipta Kerja hanya mengobral kemudahan bagi pengemplang pajak. Kemudahan diberikan saat tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Dicontohkan pada 2018, tingkat kepatuhan formal wajib pajak badan dan orang pribadi sudah mencapai 72 persen. Namun, persentase yang melakukan pembayaran masih di kisaran 50 persen.
“Data itu mencerminkan, pada tahun 2018 itu masih banyak pengemplang pajak yang seharusnya sanksi diperberat. Namun fakta dilapangan tidak demikian. Para pengemplang pajak itu masih bisa tertawa dana menertawan ketegasan hukum perpajakan di Indoneisa,” katanya.
Ironisnya , dalam UU Cipta Kerja yang kontroversi itu mencantumkan sebuah pasal yang meringankan sanksi bagi pengemplang pajak. Pasal itu merevisi aturan Pasal 8 ayat 2A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Dalam UU KUP disebutkan, jika wajib pajak membetulkan sendiri surat pemberitahuan masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, akan kena sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar.
Sementara, dalam UU Cipta Kerja Pasal 113 ayat 1 poin 2b ketentuan terkait besaran bunga denda dalam sanksi administrasi ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5 persen dan dibagi 12 (jumlah bulan dalam setahun), yang berlaku pada tanggal dimulainya perhitungan sanksi tersebut.
“Omnibus Law ini juga karpet merah bagi pengemplang pajak setelah tax amnesty tahun 2016, karena ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengubah UU KUP Pasal 44B ayat 2″ ujarnya.
Pada UU KUP Pasal 44B ayat 2, menurut Huda, penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan, setelah wajib pajak melunasi utang pajak dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, tersurat bahwa penghentian penyidikan hanya dilakukan, setelah wajib pajak melunasi utang pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Isi UU Cipta kerja itu menegaskan ada pengurangan denda. Dari kewajiban 4 kali denda dalam UU KUP menjadi 3 kali denda dari jumlah pajak yang dikemplang.
“Fakta hukum dalam UU Cipta Kerja itu memastikan, pengemplang pajak itu dapat menikmati diskon dari pemerintah. Nilai dendanya 1 kali dari kewajiban jumlah pajak yang harus dibayar,” katanya dengan tersenyum sinis. (ima)