Bongkah.id – Gugatan judicial review yang diajukan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) ke Mahkamah Konstitusi berpotensi membawa dampak luas. Jika permohonan itu dikabulkan, maka seluruh siaran langsung yang ditayangkan lewat media digital, termasuk medsos, harus seizin pemegang hak siar.
RCTI dan Inews TV menggugat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke MK. Pasal itu mengatur penyiaran sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Dua stasiun televisi itu menilai pasal tersebut menyebabkan diskriminasi antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Youtube dan Netflix. Sebab, klausulnya hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
Menurut pemohon, Pasal 1 angka 2 tidak mengatur tentang penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo. Hal ini menyebabkan penyiaran melalui internet tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran.
Atas alasan itu, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sedangkan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan itu,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef.
Sebab itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Dengan demikian, maka layanan over the top (OTT) yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran.
Sehingga, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.
Gugatan RCTI dan Inews TV mendapat perlawanan dari pemerintah yang meminta MK menolak UU 32/2002 tentang Penyiaran. Sebab, masyarakat tidak akan bisa lagi mengakses media sosial secara bebas kalau permohonan itu dikabulkan.
Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020), menyatakan, pemerintah akan mengatur definisi penyiaran secara lebih luas. Serta mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial.
“Dengan klausul itu, setiap konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya kita harus menutup mereka kalau tidak mengajukan izin,” kata Ramli yang disiarkan melalui YouTube MK RI, Kamis (27/8/2020).
Lebih jauh, Ramli menjelaskan, ketika kegiatan melalui media sosial dikategorikan sebagai penyiaran, maka lembaga negara, lembaga pendidikan, konten kreator baik badan usaha ataupun badan hukum yang menggunakan platform OTT harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran. Jika tak mengantongi izin, mereka dapat dinyatakan melakukan penyiaran ilegal.
“Mereka yang melakukan penyiaran ilegal bisa dikenai sanksi pidana,” ujarnya.
Namun cara ini pun memiliki keterbatasan. Menurut Ramli, penyedia layanan audio-visual yang umumnya melintasi batas negara, mustahil untuk menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yuridiksi di tanah air.
“(Jika gugatan diterima) akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan UU Penyiaran serta peraturan terkait di bawahnya,” tandasnya.
Ramli menyebut, terdapat perbedaan yang jelas antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran dengan layanan audio visual OTT. Ia mencontohkan, penyiaran dilakukan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui satelit. Penyiaran juga dibatasi layanannya di televisi dan radio.
Kegiatan penyiaran dilakukan melalui infrastruktur yang dibangun dan disediakan secara khusus untuk keperluan penyiaran. Masyarakat pun tidak dapat memilih program siaran yang ditayangkan. Menurut Ramli, keliru jika menyamakan layanan penyiaran dengan layanan OTT, meskipun konten yang dihasilkan sama-sama audio dan atau audio visual.
“Para pemohon tidak memahami secara menyeluruh definisi penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dan tidak memahami pengaturan penyelenggaraan penyiaran dalam UU penyiaran dan peraturan pelaksanaannya,” jelasnya.
Ramli menambahkan, seluruh media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya sendiri. Jika layanan penyiaran diatur melalui UU Penyiaran, maka layanan OTT yang memanfaatkan jasa akses internet melalui jaringan telekomunikasi tunduk pada UU Telekomunikasi. Sedangkan pengawasan konten OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik tunduk pada UU ITE.
“Dengan demikian menjadi jelas bahwa karakteristik OTT khususnya untuk layanan audio visual OTT berbeda dengan penyiaran yang tunduk pada UU Penyiaran,” tuturnya. (bid)