bongkah.id – Di balik senyum sabarnya, Lina Listiana Ariani menyimpan lelah yang panjang. Selama delapan tahun terakhir, hidupnya hampir sepenuhnya tercurah untuk merawat putrinya, Naysha Aulia Farzana, yang terlahir dengan kondisi Down syndrome.
Tubuh Naysha kecil dan lemah, tak berdaya untuk bergerak sendiri. Hari-harinya dihabiskan dengan berbaring di atas tempat tidur, bergantung penuh pada tangan sang ibu yang tinggal di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Sidoarjo Jawa Timur.
Merawat Naysha bukan perkara mudah. Lina harus selalu siaga, siang dan malam. Untuk sekadar memiringkan tubuh, membersihkan, memberi makan, hingga memastikan Naysha merasa nyaman. Semuanya dilakukan dengan penuh kesabaran.
Tak jarang, kelelahan fisik bercampur dengan beban batin. Namun Lina memilih bertahan, karena baginya Naysha adalah amanah yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
“Kadang capek, tapi yo kudu kuat,” ujar Lina pelan. Ia jarang keluar rumah, karena tak tega meninggalkan anaknya. Dunia Lina seakan menyempit, sebatas kamar kecil tempat Naysha terbaring.

Sementara dunia luar, seperti pepohonan, kondisi jalan desa, atau suara anak-anak bermain, hanya bisa ia ceritakan pada putrinya dalam bisikan lembut.
Namun pada Rabu (24/12/2025), secercah gairah hidup baru datang mengetuk pintu rumah mereka. Bupati Sidoarjo H. Subandi hadir langsung membawa kursi roda untuk Naysha.
Lina tak kuasa menahan air mata. Bantuan itu bukan hanya soal fasilitas, tetapi pengakuan bahwa perjuangannya selama ini tidak sendiri.
Naysha, yang selama hidupnya lebih banyak menatap langit-langit kamar, kini memiliki kesempatan untuk keluar rumah. Tubuh kecilnya yang selama ini hanya terbaring, perlahan bisa diajak melihat cahaya matahari dan merasakan udara segar yang selama ini terasa jauh dari jangkauannya.
Bupati Subandi menyampaikan empati mendalam kepada keluarga Lina. Ia memahami bahwa merawat anak dengan kebutuhan khusus membutuhkan tenaga, kesabaran, dan keteguhan hati yang luar biasa.
“Merawat anak seperti ananda Naysha ini tidak mudah. Dibutuhkan kesabaran dan ketulusan yang besar. Pemerintah harus hadir untuk meringankan beban itu,” ujarnya.
Ia berharap bantuan kursi roda dapat membantu Lina dalam merawat Naysha, sekaligus memberi ruang bagi sang anak untuk mengenal dunia luar meski dengan keterbatasan.
“Kita lihat kondisi ananda Naysha yang hanya bisa berbaring. Dengan kursi roda ini, minimal bisa diajak keluar rumah. Ini sangat berarti, bukan hanya untuk anaknya, tapi juga untuk ibunya,” tambah Subandi.
Selain bantuan kursi roda, Pemkab Sidoarjo memastikan dukungan berkelanjutan berupa kepesertaan BPJS Kesehatan, pendampingan Dinas Sosial, serta tambahan bantuan Rp 600 ribu per bulan dari Baznas.
Bagi Lina, bantuan itu adalah napas lega di tengah perjuangan panjangnya. Ia tahu jalan yang harus dilalui masih panjang, namun kini ia merasa tidak berjalan sendirian.
“Alhamdulillah, nek diparingi ngeten, saget didhamel beraktivitas,” ucapnya lirih.
Kursi roda itu menjadi simbol harapan bahwa di balik lelahnya seorang ibu, masih ada tangan-tangan yang peduli dan siap menguatkan.
Kursi Roda Sebagai Jembatan Dunia
Bagi anak seperti Naysha Aulia Farzana, kursi roda bukan sekadar alat bantu, melainkan jembatan kecil menuju dunia yang selama ini terasa jauh.
Dengan tubuh yang kecil dan kondisi fisik yang lemah akibat Down syndrome, Naysha tak mampu duduk atau bergerak sendiri.
Selama bertahun-tahun, ia hanya bisa berbaring, memandang dinding kamar, tanpa kesempatan melihat kehidupan di luar rumah.
Kehadiran kursi roda memberi perubahan besar. Dengan alat bantu tersebut, Naysha kini dapat dipindahkan dengan lebih aman dan nyaman.
Ibunya tak lagi harus mengangkat tubuh kecil itu dengan tenaga penuh, mengurangi risiko kelelahan dan cedera. Kursi roda membantu Lina merawat anaknya dengan lebih manusiawi, tanpa tergesa dan tanpa rasa takut menyakiti.
Lebih dari itu, kursi roda membuka ruang stimulasi bagi Naysha. Ia dapat diajak keluar kamar, melihat sinar matahari pagi, merasakan angin, dan mendengar suara lingkungan sekitar—hal-hal sederhana yang sangat penting bagi anak dengan kebutuhan khusus.
Paparan lingkungan luar memberi rangsangan sensorik yang membantu perkembangan emosi dan mentalnya, meski dengan keterbatasan.
Secara psikologis, kursi roda juga memberi martabat bagi Naysha. Ia tidak lagi sepenuhnya terbaring pasif, tetapi bisa berada dalam posisi duduk, sejajar dengan orang-orang di sekitarnya. Kondisi ini membuat interaksi menjadi lebih hangat, lebih setara, dan lebih manusiawi.
Bagi keluarga, terutama sang ibu, kursi roda menjadi simbol harapan. Harapan bahwa Naysha bisa merasakan dunia meski dengan caranya sendiri. Harapan bahwa perjuangan merawat anak dengan Down syndrome tidak selalu harus dijalani dalam keterbatasan total. Dan harapan bahwa perhatian kecil dari pemerintah dapat membawa dampak besar dalam kehidupan keluarga sederhana di sudut desa.
Dalam diam, kursi roda itu bukan hanya alat, tetapi pintu yang perlahan membuka dunia bagi Naysha. (anto)



























