Hasil evaluasi Inspektorat Kabupaten Sidoarjo mengungkap temuan mencolok yakni lebih dari 90 persen desa belum lolos kategori hijau.

bongkah.id – Di balik gencarnya upaya transparansi anggaran, kondisi tata kelola keuangan desa di Kabupaten Sidoarjo ternyata masih jauh dari kata ideal.

Fakta ini mencuat dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Desa (Rakorwasdes) 2025, Senin (24/11/2025).

ads

Hasil evaluasi Inspektorat Kabupaten mengungkap temuan mencolok yakni lebih dari 90 persen desa belum lolos kategori hijau.

Hanya 28 desa katagori hijau dan selebihnya adalah lampu peringatan mulai menyala.

Bupati Sidoarjo, H. Subandi, menyampaikan bahwa dari 318 desa yang dievaluasi, hanya 28 desa atau sekitar 8,8 persen yang dinilai telah mengelola anggarannya secara memadai.

Sisanya tersebar di kategori kuning dan merah, dua zona yang menggambarkan adanya masalah administrasi hingga potensi penyimpangan.

“Ini alarm serius. Desa harus memperbaiki kualitas pengelolaan anggaran agar lebih transparan dan sesuai regulasi,” tegas Subandi dalam sesi pemaparan.

Meski mayoritas desa belum tertib anggaran, masih ada titik terang. Sepuluh desa masuk daftar terbaik yaitu:

Desa Waruberon Kecamatan Balongbendo
Desa Keboan Anom Kecamatan Gedangan
Desa Modong Kecamatan Tulangan
Desa Wadungasri Kecamatan Waru
Desa Simoketawang Kecamatan Wonoayu
Desa Simoangin-angin Kecamatan Wonoayu
Desa Trompoasri Kecamatan Jabon
Desa Kwangsan Kecamatan Sedati
Desa Bligo Kecamatan Candi
Desa Sidomojo Kecamatan Krian

Bahkan empat desa yakni Kwangsan, Wadungasri, Simoketawang, dan Trompoasri diposisikan sebagai nominator desa antikorupsi, dengan Desa Kwangsan melaju sebagai kandidat tingkat provinsi.

Namun Subandi mengingatkan bahwa pencapaian segelintir desa ini tidak boleh menutupi masalah lebih besar.

Inspektur Kabupaten Sidoarjo, Andjar Surjadianto, memaparkan hasil evaluasi dari 318 desa di 18 kecamatan sangat miris.
Angkanya cukup mencolok, yakni 195 desa kategori kuning dan 95 desa kategori merah.

Kategori merah adalah yang paling bermasalah dari aspek administrasi berantakan, dokumen pertanggungjawaban (SPJ) tidak tepat, hingga pengelolaan aset yang lemah.

Indikator penilaian mencakup lima aspek, dengan bobot terbesar pada tata kelola keuangan.

Sejumlah persoalan tampak berulang dari tahun ke tahun, yakni Dokumen SPJ yang tidak sesuai atau terlambat, aset desa tidak dikelola dengan benar, kapasitas aparatur desa dalam pengadaan barang dan jasa masih timpang, pemahaman regulasi keuangan desa belum merata.

Dalam sejumlah kasus, persoalan ini bukan semata ketidaktahuan, melainkan karena tidak adanya pendampingan teknis yang memadai.

“Ini menjadi perhatian kami. Pendampingan akan dilakukan lebih intensif untuk memperbaiki kualitas tata kelola tahun depan,” jelas Andjar.

Menyadari tingginya angka desa bermasalah, Bupati Subandi meminta camat dan perangkat teknis untuk turun langsung melakukan pembinaan.”Desa harus tumbuh menjadi wilayah yang antikorupsi,” ujarnya.

Inspektorat juga memastikan bahwa desa kategori merah telah dijadwalkan mengikuti pembinaan khusus, yakni model “karantina administrasi” agar mampu memperbaiki pengelolaan keuangan secara bertahap.

Meski terlihat seperti potret kelam, data ini justru membuka kesempatan untuk mengungkap pola bahwa ketertiban anggaran tidak hanya bergantung pada moral aparatur, tetapi juga struktur pembinaan, kualitas pendampingan, hingga akses pelatihan.

Rakorwasdes ini menunjukkan bahwa ketidaktertiban anggaran di desa bukan persoalan tunggal, melainkan rangkaian masalah yang saling terkait. Mulai dari rendahnya kapasitas SDM, kompleksitas regulasi, hingga lemahnya pengawasan di lapangan. (anto)

6

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini