Bongkah.id – Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan istrinya Iis Rosita Dewi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait dugaan kasus korupsi ekspor benih lobster. Politisi Partai Gerindra meningkat drastis selama duduk sebagai Anggota DPR hingga menjabat menteri.
Berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkan ke KPK per 31 Desember 2018, Edhy memiliki pundi Rp 4.562.804.877. Saat itu, ia tercatat sebagai anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Gerinda.
Harta Edhy meningkat hampir 100% pada LHKPN terakhir yang dilaporkan pada 31 Desember 2019. Saat itu, kekayaannya sudah mencapai Rp 7.422.286.613.
Harta itu terdiri dari tanah dan bangunan senilai Rp 4.349.236.180. Antara lain tujuh bidang tanah di Muara Enim, Sumatera Selatan, satu bidang tanah di Bandung Barat, Jawa Barat, tanah bangunan di Bandung, Jawa Barat, dan tanah dan bangunan di Bandung Barat.
Lalu untuk harta bergerak berupa alat transportasi dan mesin, total yang dimiliki Edhy Prabowo tercatat sebesar Rp 890.000.000. Rinciannya, 2 unit mobil, 2 unit motor, 1 sepeda, dan 1 genset. Kendaraan roda empat paling mahal yang dipunyai Edhy Prabowo, yakni mobil Mitsubishi Pajero Sport Jeep dengan nilai Rp 500 juta. Lalu kendaraan paling rendah yang dilaporkan adalah Yamaha RX-King tahun 2002 senilai Rp 4.000.000.
Edhy juga mencantumkan kepemilikan 1 sepeda BMC sport dengan harga Rp 65.000.000. Aset lain yang dilaporkan Edhy yakni berupa harta bergerak lain yang taksiran nilainya Rp 1.926.530.000. Kemudian aset berupa kas dan setara kas sebesar Rp 256.520.433.
Bukan hanya Edhy, sang istri yang kini menjadi Anggota DPR dari Fraksi DPR periode 2019-2024 memiliki kekayaan Rp 1,879 miliar. Total harta itu tercatat dalam data LHKPN terakhir yang dilaporkan Iis saat maju sebagai caleg dari Partai Gerindra tahun lalu
Edhy Prabowo bersama istrinya ditangkap ketika pulang dari Amerika Serikat dan baru mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Selain mereka, KPK juga mengamankan 15 orang pegawai KKP dan staf pribadi Edhy.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu ditangkap karena merevisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia yang terbit pada era Susi Pudjiastuti. Tindakan tersebut diduga menyalahgunakan wewenang dan berpotensi merugikan negara.
Ketika merilis revisi Permen tersebut, Edhy mengaku punya cukup alasan. Menurutnya, larangan ekspor benih lobster banyak merugikan nelayan.
“Kita libatkan masyarakat untuk bisa budidaya (lobster). Muaranya menyejahterakan,” kata mantan Anggota Komisi IV DPR RI itu.
Di sisi lain, pelarangan tersebut juga meningkatkan kasus penyelundupan benih lobster. Dia mengatakan ekspor benih lebih baik dibuka sehingga mudah dikendalikan daripada benih jadi selundupan yang tak menguntungkan negara,
Edhy menegaskan dia tidak menutupi apa pun dalam kebijakan ekspor benih lobster. Sebelum melegalkan ekspor benih lobster, KKP telah melakukan kajian mendalam lewat konsultasi publik.
“Terdapat 13.000 nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster. Ini sebenarnya yang menjadi perdebatan, karena akibat ekspor dilarang mereka tidak bisa makan. Mereka tidak punya pendapatan. Ini sebenarnya pertimbangan utama kami,” tandasnya.
Saat ini, Edhy dan istri beserta 15 orang lain yang ditangkap KPK masih menjalani pemeriksaan intensif. Status hukum mereka dalam kasus ini bakal ditetapkan makssimal 1×24 jam sejak penangkapan. (bid)