bongkah.id – Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sidoarjo pada 2025 tercatat 83,35, tertinggi di antara seluruh kabupaten di Jawa Timur.
Di atas kertas, capaian ini menempatkan Sidoarjo sebagai daerah dengan kualitas hidup terbaik. Namun di balik angka statistik itu, kehidupan sehari-hari warga menyimpan cerita yang lebih beragam.
Bagi sebagian masyarakat perkotaan, peningkatan IPM terasa nyata. Akses layanan kesehatan relatif mudah, sekolah tersedia hingga jenjang menengah atas hingga perguruan tinggi, dan kesempatan kerja terbuka di sektor industri maupun UMKM.
IPM adalah angka gabungan yang menunjukkan kualitas hidup penduduk dari tiga aspek utama, yakni aspek kesehatan, diukur dari Umur Harapan Hidup, aspek pendidikan diukur dari Harapan Lama Sekolah (peluang anak bersekolah), dan aspek standar hidup layak, diukur dari pengeluaran riil per kapita (daya beli masyarakat).
Umur Harapan Hidup warga Sidoarjo kini mencapai 76,08 tahun. Bukan berarti setiap orang pasti hidup sampai umur itu. Ini adalah rata-rata harapan hidup jika kondisi kesehatan, lingkungan, dan kematian tetap seperti pola sekarang.
Sementara Harapan Lama Sekolah berada di angka 15,23 tahun, atau setara dengan
SD (6 tahun), SMP (3 tahun), SMA (3 tahun), dan sekitar 3,2 tahun pendidikan tinggi.
Daya beli pun tergolong stabil, dengan pengeluaran riil per kapita sebesar Rp 16,366 juta per tahun, atau rata-rata per bulan ≈ Rp 1,36 juta , atau
per hari ≈ Rp 44.800, untuk memenuhi konsumsi, seperti makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Namun bagi warga di wilayah pinggiran, capaian tersebut belum selalu sejalan dengan realitas. Masih ada orang tua yang harus menempuh jarak cukup jauh untuk membawa anaknya ke sekolah lanjutan, atau warga yang harus mengantre panjang di fasilitas kesehatan karena keterbatasan layanan.
IPM yang tinggi belum sepenuhnya menghapus ketimpangan akses antarwilayah.
Kepala BPS Sidoarjo, Mohamad Isma’il, mengakui capaian IPM 83,35 merupakan hasil konsistensi pembangunan lintas sektor. Namun ia juga menyoroti tantangan demografi yang dihadapi Sidoarjo sebagai daerah tujuan migrasi.
“Tingginya arus pendatang membuat beban fasilitas publik meningkat. Pendidikan dan kesehatan harus terus diperkuat agar kualitas hidup warga lama maupun pendatang tetap terjaga,” ujarnya.
Di sisi lain, denyut ekonomi Sidoarjo memang masih kuat. Aktivitas pabrik, pergudangan, hingga usaha kecil menjadi penopang utama penghasilan masyarakat.
Akan tetapi, ketergantungan pada sektor industri juga menyisakan persoalan, seperti kesenjangan pendapatan dan keterbatasan keterampilan bagi tenaga kerja di luar kawasan industri.
Bupati Sidoarjo, H. Subandi, menilai capaian IPM ini sebagai hasil kerja bersama. Ia menegaskan bahwa angka tinggi harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
“Pembangunan tidak boleh berhenti pada statistik. Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Ke depan, pemerataan pembangunan manusia menjadi tantangan utama. Digitalisasi layanan publik, penguatan pendidikan vokasi, dan peningkatan layanan dasar di desa-desa menjadi kunci agar kualitas hidup tidak hanya terkonsentrasi di pusat kota.
Tanpa itu, IPM tinggi berisiko hanya menjadi angka prestisius, sementara sebagian warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka. (anto/wid)


























