Beberapa postingan model menggunakan mukena hasil potretan terdua pelaku D yang diunggah di salah satu akun twitter miliknya.

Bongkah.id – Kepolisian mulai meminta keterangan saksi dan korban kasus dugaan fetish (pelecehan seksual menyimpang) dengan mukena yang terjadi di Kota Malang, Jawa Timur. Diduga, perbuatan asusila ini sudah menyebabkan puluhan perempuan yang menjadi model busana muslim (mukena) olshop menjadi korban.

Penyidik Polresta Malang telah memeriksa tiga saksi dari pihak korban sekaligus pelapor. Keterangan mereka akan menjadi bahan penyelidikan polisi untuk menjerat tersangka.

ads

“Kami baru periksa pelapornya saja, nanti kami pelajari dahulu, ” kata Kasat Reskrim Polresta Malang Kota Kompol Tinton Yudha Riambodo, Senin (23/8/2021).

Selain keterangan para saksi itu, polisi juga akan mempelajari barang bukti yang disertakan oleh para pelapor. Pihak kepolisian mempersilahkan para korban lain merasa dirugikan untuk segera melapor.

“Kami baru mempelajari keterangan-keterangan saksi yang disampaikan. Termasuk barang bukti yang disertakan, untuk menentukan adanya unsur pidana,” ujar Tinton.

Sejauh ini, polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Namun sudah diagendakan pemeriksaan terhadap terlapor berinisial D.

“Dasar untuk kami mengusut belum ada. Nanti infonya korban mau ke Polresta,” kata Kapolresta Malang AKBP Budi Hermanto, Jumat (20/8/2021) lalu.

Kasus fetish mukena ini mencuat dari postingan pemilik akun Twitter @jeehantz. Dalam utas cuitannya, dia menceritakan pengalamannya yang menjadi korban pelecehan seksual dengan sarana mukena berkedok olshop atau penjualan daring.

Mulanya, korban yang akrab dipanggil Jihan ini mendapatkan tawaran menjadi foto model katalog mukena dari toko daring Griya Mukena. Menurut dia, olshop berinisial GM itu dimiliki oleh seseorang berinisial R yang dianggap Jihan adalah seorang perempuan, menawarkan kepada dirinya untuk menjadi model pemotretan.

Singkat cerita, usai kerjaan itu rampung, dia baru mengetahui bahwa D -pria yang mengaku sebagai adik pemilik GM- adalah R. Jadi, D dan R adalah orang yang sama. Satu orang itulah pengelola akun daring GM.

“Beberapa model lain menghubungi mbak R yang ternyata adalah mas D untuk menghapus foto kami dan mengancam untuk melapor kepada polisi. Bukannya membalas, mas D justru memblokir model tsb tanpa bertanggung jawab,” tulis akun twitter @jeehantz.

Dia pun merasa dikelabui, apalagi ketika ia mengetahui bahwa foto-foto tersebut, oleh terduga D, tidak dipergunakan untuk mempromosikan produk mukena yang dijualnya. Melainkan mengunggah foto-foto tersebut pada akun yang diduga merupakan akun “fetish mukena” milik terlapor.

“Ditemukan juga Twitter dimana akun tsb adalah OA fetish mukena sehingga foto kami digunakan sebagai bahan c*** mereka. Tentu saja, semua postingannya sangat *disgusting* perempuan memakai mukena yang merecord hal-hal asusila seperti akun fetish pada umumnya,” ungkap @jeehantz.

Sementara terduga pelaku melalui akun Instagram @dimasalvian20 sempat meminta maaf atas perbuatannya kepada para model yang bekerja sama dengan dirinya. Dia menyebut bahwa foto-foto tersebut sebagai koleksi pribadinya, bukan untuk tujuan komersil.

“Saya mengaku, saya bersalah telah menyebarkan dan tidak meminta izin kepada model. Saya mau mengklarifikasi bahwa foto tersebut adalah untuk konsumsi saya pribadi. Tidak dijual di manapun. Saya meminta maaf kepada korban saya dan saya akan menghapus semua foto yang ada di laptop saya,” ucap akun instagram @dimasalvian20.

Namun hingga kini, polisi masih mencari-cari unsur pidana terkait perbuatan terduga pelaku D. Selain dugaan fetish, indikasi tindak pidana lain yakni Pasal 378 KUHP tentang penipuan bisa digunakan untuk menjerat terlapor.

“Unsur penipuannya adalah menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, barang di sini maksudnya adalah menyerahkan foto,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu.

Akan tetapi jika foto itu digunakan untuk kebutuhan toko daring lantas disalahgunakan, lanjut Erasmus, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Terkait unsur tindak asusila sesuai Pasal 315 KUHP, Erasmus menilai polisi masih harus menyelidiki motif dan tujuan pelaku. Namun masalahnya, imbuh dia, undang-undang di Indonesia yang menitikberatkan kepada konten, bukan niat dan tujuan. Dalam kasus ini, tidak ada konten pornografi atau kesusilaan.

“Tujuan dia (si pelaku) kesusilaan memang bisa masuk pelecehan. Masalahnya di bab kesusilaan, yang dipidana bukan niat dan tujuannya. Tapi kontennya. Kecuali termasuk kekerasan atau ancaman kekerasan. Masalahnya, di Indonesia kekerasan atau ancaman kekerasan itu berupa fisik, tipu daya dia termasuk,” terangnya. (bid)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini