Bongkah.id – Jurnalis senior asal Gresik, Jawa Timur, Mokhammad Masduki, meluncurkan buku berjudul ‘Jurnalistik Otentik’. Lahirnya karya tulis ini karena keprihatinan penulis atas fenomena wartawan dan media gadungan yang kian marak.
Buku berjudul ‘Jurnalisme Otentik, Ketika Marwah Pers Diacak-acak Wartawan Gadungan’, sebagai respon Masduki selaku jurnalis senior terhadap maraknya reporter maupun media massa yang kurang memiliki kredibilitas. Menurut dia, anggapan itu tercermin dari perilaku dan etos kerja para awak media yang baru bermunculkan tidak mengedepankan kode etik jurnalistik dan hanya mencari keuntungan pribadi.
“Yang seperti ini banyak muncul di desa-desa yang ada di Gresik,” kata Masduki.
Jurnalis yang terjun di dunia jurnalistik sejak tahun 90-an ini menilai, sikap kerja wartawan yang kurang profesional tersebut menyebabkan masyarakat resah. Terutama, lanjutnya, bagi para narasumber atau tokoh yang kerap bersinggungan dengan awak media.
“Kepala desa itu sering merasa ketakutan kalau wartawan abal-abal muncul,” ujar pria yang sudah berkecimpung di media massa cetak hingga online.
Masduki menilai, keberadaan wartawan dan media massa yang tidak profesional, justru mencoreng citra profesi jurnalis dan merendahkan karya-karya jurnalistik.
Selain itu, dia juga menyoroti maraknya aksi plagiarisme karya jurnalistik atau hasil reportase yang juga sangat meresahkan dan mengancam profesionalisme wartawan sesungguhnya. Akibatnya, hal itu tidak menghasilkan karya original seorang wartawan.
“Banyak wartawan yang tidak turun ke lapangan, tapi menulis berita,” ungkap wartawan plontos ini.
Menurut Masduki, aksi plagiarisme juga menyebabkan tidak adanya kedalaman berita. Sebab, Masduki berpendapat tulisan itu bisa diibaratkan sebagai sidik jari manusia.
“Sehingga berita itu tidak dapat dipalsukan, karena sudah menjadi identitas dan gaya menulis seorang wartawan,” pungkasnya.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Dewan Pers Indonesia M. Agung Dharmajaya pernah menyebutkan sejumlah ciri-ciri wartawan abal-abal. Antara lain bisa dilihat dari tindakan mereka saat bekerja di lapangan semisal datangnya bergerombol, memiliki markas tertentu sebagai markas besar, markas wartawan abal-abal/boderek biasanya di lobi hotel.
“Wartawan abal-abal sering juga disebut wartawan bodrex atau juga wartawan cnn atau candu nulis-nulis,” kata Agung saat Seminar Literasi dengan tema “Membedakan Media Profesional Dengan Media Abal-Abal di Kabupaten Tanah Datar, Senin (12/9/2022) lalu.
Agung menilai, wartawan abal-abal semakin marak lantaran mudahnya mengakses berita produk reportase atau informasi yang sudah dikemas dalam karya jurnalistik. Banyak koran/media cetak, televisi, media online yang bisa diakses secara secara gratis kapanpun dan dimanapun.
“Bahkan, mereka sering menjadikan pihak pengelola hotel sebagai pihak yang juga mereka mintai dana atau fasilitas tertentu,” tandasnya.
Ciri lainnya adalah media tempatnya bekerja tidak berbadan hukum perusahaan pers. Misalnya, alamat redaksi tidak jelas atau tidak mencantumkan nama penanggungjawab dalam boks redaksi, isi berita cenderung melanggar Kode Etik Jurnalistik serta bahasa yang digunakan tidak memenuhi standar baku.
Bukan hanya itu, dari sisi penampilan, wartawan yang tidak profesional biasanya terkesan sok jago atau kurang beretika, mengaku anggota organisasi wartawan tetapi tidak jelas. Kemudian, mereka kerap mengenakan atribut aneh dan pertanyaan yang diajukan hanya tendensius; Tidak juga bertatakrama jurnalis, meremehkan bahkan tidak jarang melakukan ancaman hingga memeras narasumbes dan kebanyakan tidak memiliki sertifikat kompetensi wartawan. (bid)