Oleh: Prima Sp Vardhana
Fakta politik menujukkan, bahwa Gus Sholah maju menjadi capres atas dukungan PKB, partai yang kelahirannya dibidani oleh Gus Dur. Namun, ijtihad politik Gus Sholah ini seakan mengikis habis sisi kontroversial dirinya dengan Gus Dur, tapi justru masuk ke wilayah kontroversi yang lain. Pasalnya Gus Sholah menerima pinangan capres partai Golkar Wiranto.
Keputusan itu menjadi antiklimaks kariernya di Komnas HAM. Bagaimana tidak, Wakil Ketua II Komnas HAM ini harus berpasangan dengan orang yang dianggap bertanggungjawab atas sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia. Sementara Komnas HAM yang digawangi Gus Sholah harus bergiat mengungkap kasus pelanggaran HAM dan beberapa kali bergesekan dengan Wiranto.
Deklarasi pasangan Wiranto-Gus Sholah ini dilakukan di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa (11/05/2004) malam. Ini merupakan babak baru dari perjalanan karier politiknya. Namun pasangan dengan latar belakang bertentangan itu harus kalah dibabak pertama.
Kekalahan di Pilpres 2004 tak membuat Gus Sholah patah arang. Itu ditunjukkan dengan aktifitasnya dalam beragam kegiatan sosial keagamaan. Pada Februari 2006, KH. Yusuf Hasyim menelpon pria dengan nama kecil Salahuddin al-Ayyubi ini. Dalam hubungan telpon tersebut disampaikan niatnya mundur sebagai pengasuh Tebuireng, yang dipegangnya selama 41 tahun. Selain itu, meminta Gus Sholah untuk menggantikannya.
Pada 12 April 2006, Gus Sholah bertemu dengan pamannya tersebut dan keluarga besar Tebuireng serta para alumni senior. Pertemuan itu untuk mematangkan rencana pengunduran diri Yusuf Hasyim dan naiknya Gus Sholah sebagai pengasuh Tebuireng. Keesokan harinya, pergantian pengasuh diresmikan bersamaan dengan acara Tahlil Akbar Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Temu Alumni Nasional Pondok Pesantren Tebuireng di halaman ponpes.
Langkah pertama yang diambil Gus Sholah dalam memimpin Tebuireng, adalah melakukan ”diagnosa” atau mendeteksi ”penyakit” yang sedang menimpa Tebuireng. Sejak bulan April hingga akhir 2007, Gus Sholah secara berkala mengadakan rapat bersama unit-unit yang ada di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari.
Dia meminta laporan tentang kendala yang dihadapi. Selain itu, meminta masukan dan kritik. Tak hanya itu, Gus Sholah menurunkan ”mata-mata” yang turun langsung ke kamar para santri. Sebuah langkah untuk mengkonfirmasi kinerja pengurus ponpes.
Selama memimpin Tebuireng, Gus Sholah berupaya menggugah kesadaran para guru, pembina santri, dan karyawan Tebuireng. Untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja berdasar keikhlasan dan kerjasama.
Langkah kongkritnya mengadakan pelatihan terhadap para guru dengan mengundang konsultan pendidikan dari Konsorsium Pendidikan Islam (KPI), yang juga membantu para kepala sekolah untuk menyusun SOP (Standard Operating Procedure) bagi kegiatan belajar mengajar (KBM) ponpes.
Mulai awal 2007, Ponpes Tebuireng menerapkan sistem full day school di semua unit pendidikan. Para pembina dibekali dengan latihan khusus, baik latihan kedisiplinan dan psikologi agar dapat menjalankan tugas dengan baik.
Rencananya, seorang pustakawan akan didatangkan guna mengelola perpustakaan secara sistematis dan terarah. Pada saat yang sama, Madrasah Mu’allimin dan Ma’had Aly didirikan, serta kegiatan pengajian dilakukan secara klasikal melalui Madrasah Diniyah dan kelas Takhassus.
Sejak awal kepemimpinannya, Gus Sholah berupaya memperbaiki sarana fisik. Secara bertahap. Klinik kesehatan dibangun di dekat kompleks SMA. Masjid diperluas dan ditingkatkan mutunya dengan tetap mempertahankan bangunan lama. Ruang makan diperbaiki. Selain itu, gedung-gedung tua direnovasi. Seluruh proses pembangunan fisik ini selesai pada 2014.
Selain memimpim Tebuireng, aktivitas Gus Sholah di berbagai kegiatan sosial tetap padat. Dia menjadi anggota Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi (2004), Barisan Rakyat Sejahtera (Barasetra), Forum Indonesia Satu (FIS), Kajian Masalah Kepahlawanan yang dibentuk oleh IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), dan lain-lain. (*)