Bongkah.id – Badan Geologi Kementerian ESDM menemukan potensi logam critical raw material dalam kandungan lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Kandungan zat ini bahkan lebih besar dibanding logam tanah jarang yang ditemukan sebelumnya.
Kandungan critical raw material itu ditemukan dalam penelitian potensi logam tanah jarang di Lumpur Lapindo sejak 2020. Jenis mineral logam ini dikategorikan sebagai material yang tidak ada penggantinya (substitusi) atau langka untuk bahan baku industri sektor tertentu.
“Ada indikasi keberadaan dari logam tanah jarang ini, selain itu ada logam lainnya termasuk logam critical raw material ini yang jumlahnya lebih besar,” kata Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (21/1/2022).
Menurut Eko, penelitian kandungan logam tanah jarang dari kerja sama dua institusi, Badan Geologi dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (TekMIRA), ini baru selesai Desember 2021 lalu. Saat ini pihaknya sedang mengitegrasikan penemuannya.
“Mudah-mudahan bisa tahu seberapa besar potensi logam tanah jarang di Sidoarjo,” ucap Eko.
Pemanfaatan logam tanah jarang mulai santer terdengar ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan pertemuan beberapa waktu lalu. Keduanya membicarakan mengenai potensi mineral tersebut.
Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur cincin api membuat potensi keberadaan mineral logam sangat besar. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan PT Timah Tbk juga sedang memulai pengembangannya.
Langkah pertama adalah menyiapkan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden, termasuk untuk mengatur pengumpulan seluruh monasit di Indonesia. Monasit merupakan sisa hasil pengolahan mineral timah yang nantinya dapat diekstraksi menjadi logam tanah jarang.
Sebagai gambaran, timah dan logam tanah jarang memiliki hubungan yang cukup erat. Logam tanah jarang diperoleh dari pertambangan timah yang menghasilkan monasit. Jenis ini paling memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sejumlah produk.
Selain itu, timah tanah jarang juga dapat dimanfaatkan untuk industri kesehatan, seperti teknologi pendeteksi kanker dan jenis penyakit lagi. Lainnya adalah pembangkit listrik, penyimpanan listrik, dan pendukung tambang, hingga kebutuhan untuk kendaraan bermotor berbasis baterai.
Kajian potensi mineral pertambangan timah yang sempat dilakukan Kementerian ESDM pada 2017 menemukan volume endapan mengandung logam tanah jarang di Indonesia cukup besar. Di Sumatra terdapat setidaknya 19.000 ton logam tanah jarang. Kemudian di Pulau Bangka Belitung sekitar 383.000 ton, serta Kalimantan dan Sulawesi masing-masing memiliki minimal 219 dan 443 ton logam tanah jarang. Di tingkat global, China memproduksi 84% dari total produksi logam tanah jarang dunia. Kemudian Australia 11%, Rusia 2%, Brazil dan India sebanyak 1%.
Langkah selanjutnya, pemerintah dapat memberikan insentif untuk perusahaan start up yang ingin terlibat dalam pemanfaatan mineral langka ini. Kemudian, melakukan perhitungan secara detail cadangan logam tanah jarang pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) Timah dan tambang rakyat.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset dan Teknologi Bahan Galian Nuklir (PRTBGN) BRIN Yarianto Sugeng Budi Susilo menilai percepatan ekstraksi monasit menjadi logam tanah jarang sangat tergantung dari kesediaan pemerintah, terutama dalam menugaskan BUMN untuk membangun industri ini.
“PR jangka pendek. Buat Perpres Industri logam tanah jarang, termasuk pengaturan untuk pengumpulan seluruh monasit,” ujar Yarianto beberapa waktu lalu.
Sementara itu target jangka panjang adalah eksplorasi dan riset ekstraksi logam tanah jarang pada mineral yang berbeda. Hal itu sebagai jaminan ketersediaan sumber daya dan keberlanjutan industri di sektor ini. (bid)