Ilustrasi foto gula rafinasi dalam karung.

Bongkah.id – Kelangkaan gula rafinasi membuat sebagian besar industri kecil di Jawa Timur tersungkur. Banyak pabrik makanan dan minuman terus merugi hingga  gulung tikar.

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Jatim menyebutkan, para pelaku usaha kecil dan menengah di sejumlah daerah seperti Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, para pelaku UMKM khususnya di sektor industri makanan dan minuman sangat tertekan karena kesulitan memperoleh gula rafinasi. Maslaah tersebut harus segera disikapi oleh pemerintah pusat maupun provinsi .

“Usaha kecil alami kenaikan biaya Rp 2,73 miliar per tahun,” kata peneliti Lakpesdam PW NU Jatim, Miftahus Surur, dalam webinar pemaparan hasil riset terbaru dari Lakpesdam PW NU Jawa Timur bertajuk “Dampak Permenperin No. 3 Tahun 2021 Terhadap IKM Mamin di Jawa Timur”, Rabu (7/7/2021).

Sementara itu, usaha menengah mengalami peningkatan biaya Rp 27,57 miliar karena kenaikan biaya transport dan harga gula rafinasi di pasar. Dampak lanjutannya, mengakibatkan penurunan nilai produksi Rp1,19 triliun per tahun.

“Sedangkan pilihan terburuk yang telah dilakukan UMKM dan IKM adalah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kurang lebih 387 ribu orang atau 13% dari total 2.597.815 tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada UMKM dan IKM mamin di Jawa Timur,” terangnya.

Ketua Lakpesdam PW NU Jawa Timur Listiyono Santoso menilai, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 03 Tahun 2021 terhadap ekonomi di Jawa Timur harus segera diambil. Pasalnya, beleid tersebut membuat diskriminasi terhadap pabrik gula di Jawa Timur hingga tak mendapat pasokan raw sugar sebagai bahan baku gula rafinasi.

“Setiap wilayah harusnya ada PG yang memproduksi GKR (gula rafinasi). Sehingga harus ada izin impor untuk pabrik gula di Jatim sebagai provinsi dengan industri mamin terbesar di Indonesia,” jelas Listiyono dalam kesempatan yang sama.

Hasil riset Lakspedam NU Jatim juga menunjukkan, akibat beleid tersebut, lebih dari 40% atau sekitar 269.671 dari 674.178 UMKM dan IKM Mamin Jawa Timur terpaksa harus berhenti beroperasi karena terus merugi. Hal tersebut terjadi karena UMKM dan IKM Mamin Jawa Timur tidak dapat menanggung ekonomi biaya tinggi yang berdampak pada peningkatan biaya usaha.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian Supriadi menjelaskan, justru adanya permenperin itu dilahirkan untuk menjamin keseimbangan antara kebutuhan industri mamin dengan kepentingan petani tebu sebagai garda terdepan industri gula nasional.

“Kenapa kita pisahkan antara pabrik yang produksi gula rafinasi dengan pabrik yang memproduksi gula kristal putih? Agar mudah mengawasinya. Kalau dia merembeskan gula rafinasi sebagai gula kristal putih ke pasar rakyat,” tegas dia, Rabu (7/7/2021).

Ia melanjutkan, justru dengan terbitnya Permenperin 3/2021, diharapkan pabrik gula fokus pada sektornya masing-masing agar tercapai swasembada gula nasional.

“Kalau semua boleh impor, yang serap tebu petani siapa? Kalau nggak ada yang serap tebu, petani mau nggak tanam tebu? Kalau nggak ada petani yang tanam tebu, habis kita semua impor,” tegas dia lagi.

Ia melanjutkan, saat ini memang ada kegaduhan yang ditimbulkan oleh satu pabrik gula di Jawa Timur yang mengantongi izin gula kristal putih tapi ngotot inging bermain di sektor gula rafinasi sehingga mengganggu tata niaga gula.

Tanpa menyebut nama pabriknya, Supriadi mengatakan bahwa pabrik tersebut bermain curang dengan memborong tebu petani dengan harga mahal.

“Satu sisi bagus buat petani karena harga bagus. Tapi itu sekali saja, setelahnya petani nggak bisa panen lagi karena kemarin tebu yang muda juga dipanen karena harga lagi tinggi, akhirnya sekarang tebunya berkualitas jelek,” beber dia.

Aksi borong tebu petani yang dilakukan pabrik gula tersebut dilakukan untuk mengakali syarat minimum serapan tebu petani untuk mendapat izin impor raw sugar. Padahal, pabrik tersebut sudah diberi jatah impor raw sugar yang harganya lebih murah agar memiliki cadangan anggaran lebih untuk membiayai perluasan lahan tebu bekerja sama dengan petani.

“Alih-alih memperluas lahan tebu, dia malah menggunakan uang itu untuk memborong tebu petani dengan harga tinggi. Sekarang mana dia realisasi lahan tebunya nggak bertambah!” tutur Supriadi geram.

Imbas dari langkah sembrono itu, bukan hanya petani tebu yang dirugikan karena panen lanjutannya berkualitas buruk. Pabrik gula lain di Jawa Timur yang membutuhkan tebu untuk berproduksi pun turut menanggung akibatnya.

“Seperti PG BUMN dan PG-PG lain di Jawa Timur, mereka nggak bisa produksi gula. Kalau ada yang bilang Permenperin 3/2021 merusak tata niaga gula, justru pabrik gula konsumsi yang ngotot minta kuota impor raw sugar untuk rafinasi lah yang merusak tata niaga gula!,” tandasnya. (bid)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here