Bongkah.id – Rekonstruksi tragedi Kanjuruhan yang digelar penyidik kepolisian memantik kontroversi karena tidak ada reka adegan penembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Selain itu, pelaksanaan reka ulang dilakukan di Lapangan Polda Jawa Timur, bukan tempat kejadian perkara yakni Stadion Kanjuruhan Malang.
Rekonstruksi tragedi Kanjuruhan menghadirkan tiga tersangka di lapangan sepakbola, Mapolda Jatim, Surabaya, Rabu (19/10/2022). Dari 30 adegan yang diperagakan, tidak ada aksi petugas menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton sebagaimana informasi dan pengakuan para saksi mata di stadion yang selama ini beredar.
Tembakan gas air mata hanya diarahkan ke sentel ban atau lintasan lari sisi selatan stadion. Tindakan itu dilakukan pada reka adegan 19 hingga 25.
Adapun tiga tersangka yang memperagakan reka adegan yakni Kompol Wahyu Setyo Pranoto selaku Kabagops Polres Malang, AKP Hasdarmawan selaku Danki 3 Sat Brimob Polda Jatim, dan Babang Sidik Achmadi selaku Kasat Samapta Polres Malang. Mereka dibantu 54 orang saksi dan 30 pemeran pengganti sebagai suporter saksi mata tragedi yang menewaskan 133 orang tersebut.
“Adegan ke-19 sekitar 22.09 atas perintah tersangka Hasdarmawan, saksi menggunakan senjata laras kaliber 38 mm menembakkan satu kali amunisi warna biru ke arah selatan,” tutur penyidik melalui pengeras suara.
“Selanjutnya saksi MKI menembakkan satu kali dengan amunisi warna silver ke arah sentel ban lintasan lari selatan belakang gawang,” imbuhnya.
Adegan dalam rekonstruksi ini berbeda dengan temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Sebelumnya, TGIPF menyatakan polisi menembakkan gas air mata secara tak terukur ke arah tribun penonton.
TGIPF juga mengatakan gas air mata jadi faktor utama jatuhnya korban tewas dan luka-luka dalam insiden di Kanjuruhan. Penonton panik, berlarian, dan berdesak-desakan menuju pintu keluar hingga terinjak-injak.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo berkilah bahwa rekonstruksi ini berdasr materi penyidikan yang disimpulkan dari keterangan para tersangka dan saksi. Dia mengklaim, tidak ada mereka yang menyebutkan penembakan gas air mata ke arah tribun.
“Secara materi penyidikan, itu penyidik yang akan menyampaikan. Kalau misal tersangka mau menyebutkan seperti itu (tidak menembak ke arah tribun), itu haknya dia, tersangka punya hak ingkar,” kata Dedi di Mapolda Jatim.
Baca: Polisi Ternyata Gunakan Gas Air Mata Kedaluwarsa dalam Tragedi Kanjuruhan
Dedi mengatakan penyidik memiliki keyakinan sendiri. Dia menuturkan segala kesaksian dan alat bukti yang didapatkan penyidik akan dipertanggungjawabkan di pengadilan.
“Dengan seluruh kesaksian kemudian alat bukti yang dimiliki penyidik, nanti penyidik akan dipertanggungjawabkan baik kejaksaan maupun dalam persidangan,” katanya.
Kadiv Humas Polri menambahkan, tiga tersangka yang dihadirkan dalam rekonstruksi ini dijerap Pasal 359 dan 360 KUHP. Adapun total tersangka sebanyak 6 orang.
“Polri berkomitmen menuntaskan kasus secara transparan, akuntabel, dan ilmiah,” ujarnya.
Baca: Polri Segera Periksa Tersangka Tragedi Kanjuruhan Pekan Depan
“Rekonstruksi ini penyidik fokus tiga tersangka, yakni WS, BS dan H terkait Pasal 359 dan 360 KUHP, itu fokusnya,” ucapnya.
Selain tidak ada penembakan gas air mata ke arah tribun, kejanggalan dalam rekonstruksi juga muncul dari lokasinya. Lazimnya, reka ulang peristiwa harus dilaksanakan di tempat kejadian perkara yakni Stadion Kanjuruhan.
Tak ayal, keputusan penyidik memantik kritik dari Sekjen Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Irfan. Menurut dia, lokasi rekonstruksi penting dilaksanakan di Stadion Kanjuruhan, mengingat hampir semua Sakai ada di wilayah Malang Raya.
“Hampir semua saksi ada di wilayah Malang Raya, sangat tidak wajar kalau rekonstruksi dilakukan di kantor Polda Jatim,” tandas Andi.
Oleh karena itu, KontraS mendesak Rekonstruksi tersebut harus dilakukan di lokasi sekitar Stadion Kanjuruhan.
“(Kami) mendesak, rekonstruksi harus dilakukan di lokasi sekitar Stadion Kanjuruhan. Atau kalau bisa di Stadion Kanjuruhan,” cetus Andi Irfan. (bid)