Bongkah.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember angkat bicara mengenai fenomena sound horeg yang juga dialami di wilayah setempat. Dalam audiensi yang digelar bersama Kapolres Jember AKBP Bobby Adhimas Candra Putra di Lobby Kantor Mapolres Jember.
Ketua MUI Jember KH. Abdul Haris menegaskan perlunya regulasi tegas terkait kebisingan sound horeg yang dinilai tak hanya berdampak pada nilai-nilai keagamaan, namun juga membahayakan kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda.
Disampaikan oleh Kiai Haris, MUI telah melakukan penelitian di empat kecamatan di Jember, yang menunjukkan bahwa kebisingan dari sound horeg rata-rata melebihi 85 desibel, bahkan sampai 90 desibel.
Padahal terkait ambang batas kebisingan yang dianggap aman adalah 85 desibel, menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Dari fakta di lapangan, ternyata semuanya di atas 85 desibel. Lagi-lagi yang saya tekankan, tolong kasihani generasi muda. Anak-anak kita yang kecil-kecil yang terlibat, secara gak sadar, kesehatan pendengaran mereka terus akan terpapar,” tegas Kiai Haris saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, Jumat (18/7/2025).
Ia menambahkan, persoalan sound horeg bukan hanya berkaitan dengan moral dan agama, tetapi juga menyangkut keselamatan kesehatan publik yang bersifat universal. “Kalau sudah rusak (pendengaran), ya rusak. Sound bisa diganti, tapi telinga meskipun miliaran tidak bisa diganti,” katanya.
Dalam pertemuan dengan jajaran Polres Jember, MUI Jember menyampaikan harapan agar ada payung hukum atau regulasi teknis yang dapat menindak pelanggaran kebisingan akibat sound horeg. Meski diakui fatwa MUI tidak bersifat mengikat.
Kiai Haris, juga menekankan bahwa fatwa adalah seruan moral berbasis keilmuan dan harus dijadikan pegangan dalam merumuskan kebijakan.
“Fatwa itu memang tidak mengikat, tapi dikeluarkan oleh orang yang punya kompetensi, melibatkan banyak kalangan. Maka selayaknya dijadikan pegangan dalam kebijakan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan aturan yang mengatur batas kebisingan. “Kalau tahun 2020 pernah disepakati batas desibel tertentu, itu tidak tertulis di undang-undang. Hanya disebutkan jangan sampai menimbulkan kebisingan, tanpa ada angka yang jelas. Itu kan sulit dijadikan dasar penertiban,” katanya.
Lebih lanjut Kiai Haris menyampaikan, ia pun juga mengimbau media dan pemangku kebijakan untuk mengedukasi masyarakat, terutama soal dampak jangka panjang dari paparan suara keras.
“Kalau masyarakat gak punya literasi tentang ini, gak punya pemahaman, mereka hanya terlibat. Mungkin mereka menikmati, tapi itu kenikmatan sesaat dengan dampak yang serius,” katanya.
Ia berharap pemerintah dan pihak berwenang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar dalam setiap kebijakan.
“Bangsa ini akan hebat kalau seandainya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pegangan dalam kebijakan. Kalau ilmu pengetahuan tidak diperhatikan, ya pasti rusak,” ujarnya. (ata/sip)