bongkah.id ‐‐ Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terbukti gagal mengendalikan penularan Covid-19. Tercermin dari pertambahan pasien positif virus Corona yang ekstrem. Bahkan, menjadi penyumbang kasus Covid-19 tertinggi di Jawa Timur.
Beragam cara sudah dilakukan. Cara terbaru yang kini diterapkan, adalah pemberlakuan aturan jam malam. Aturan tersebut membatasi aktivitas warga di luar rumah pada malam hari hingga pukul 22.00 WIB.
“Pembatasan aktivitas di luar rumah pada malam hari itu, dilaksanakan setiap hari mulai pukul 22.00 WIB. Semua aktivitas yang punya risiko tinggi penularan Covid-19 akan dilarang dulu,” kata Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto, Rabu (15/7/2020).
Menurut ia, aturan jam malam diberlakukan, setelah Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2020 Tentang Pedoman Tatanan Normal Baru, pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya, diubah menjadi Perwali Nomor 33 Tahun 2020.
Perubahan Perwali tentang Tatanan Normal Baru ini, salah satunya berisi pembatasan jam malam, dan sudah disahkan dan ditetapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, per 13 Juli 2020.
Sebagaimana diketahui, pembatasan aktivitas di luar rumah pada malam hari ini, pernah diterapkan saat pelaksaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, akhir April lalu.
Kendati demikian, adapula aktivitas yang tetap boleh dijalankan saat malam hari. Yakni kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan, logistik, dan kedaruratan serta kebutuhan warga yang mendesak.
“Jadi rumah sakit, apotik, fasilitas pelayanan kesehatan, pasar, stasiun, terminal, pelabuhan, SPBU, pengiriman barang, dan fasilitas pelayanan masyarakat,” ujarnya.
Di luar kegiatan yang diperbolehkan tersebut, ditegaskan, masyarakat yang tidak memiliki kepentingan mendesak, harus berada di rumah masing-masing. Masyarakat selambat-lambatnya pukul 22.00 WIB sudah di dalam rumah.
Di luar sektor yang dikecualikan, menurut ia, kalau ada warga yang melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari, maka yang bersangkutan wajib menunjukkan surat keterangan sehat.
“Jadi harus ada surat keterangan atau bukti pendukung lain. Yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Tidak demikian terhadap warga yang melanggar peraturan. Pemkot Surabaya, dikatakan, telah mengatur sanksi adminitratif dalam perubahan Perwali tentang Pedoman Tatanan Normal Baru. Yakni teguran lisan, teguran tertulis, dan paksaan pemerintah.
Sanksi paksaan pemerintah itu meliputi penyitaan KTP, pembubaran kerumunan, dan penutupan sementara izin usaha dan sebagainya.
“Paksaan pemerintah lainnya berupa sanksi sosial. Misalnya push up, joget, memberi makan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) di Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial),” ujarnya.
Sedangkan aturan pembatasan jam malam di Surabaya ini, diakui, merupakan rekomendasi Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi).
Sementara berdasarkan catatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Kota Surabaya masih menjadi daerah penularan Covid-19 terbanyak di Jatim. Per Selasa (14/7/2020), kasus kumulatif corona di Surabaya tercatat sebanyak 7.331 orang. Sebanyak 3.705 di antaranya sembuh, dan 638 lainnya meninggal dunia.
Untuk kasus positif virus corona di Jatim, terkonfirmasi 17.212 orang. Sebanyak 7.479 dinyatakan sembuh, dan 1.289 lainnya meninggal dunia. Fakta itu menempatkan Jatim sebagai provinsi, dengan jumlah kasus positif corona terbanyak secara nasional. Melebihi DKI Jakarta dan provinsi besar lainnya. (ima)