Bongkah.id – Gelombang besar demo buruh dari sejumlah pabrik di Sukabumi beberapa hari terakhir dinilai akibat lemahnya peran pemerintah. Aksi ribuan buruh menuntut pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
“Biang kerok persoalan demo buruh lantaran banyak perusahaan mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja (Menaker) nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang THR di masa Pandemi Covid-19 yang memperbolehkan perusahaan membayar THR dengan cara dicicil,” ujar Ketua DPC Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin.
Lebih lanjut Dadeng mengatakan, Surat Edaran itu disambut banyak perusahaan dengan kebijakan membayar THR buruhnya dengan cara dibayar secara bertahap dua hingga tiga kali.
Ada juga perusahaan yang membayar THR buruh hanya senilai 50 persen dari upah. Bahkan ada yang tidak mau membayar hak THR buruhnya dengan alasan kesulitan keuangan terdampak Covid-19.
“Situasi tersebut seperti banyak terjadi di perusahaan-perusahaan di wilayah Kabupaten Sukabumi, dimana banyak perusahaan yang mengeluarkan kebijakan membayar THR secara dicicil atau bertahap. Sehingga akhirnya memancing aksi unjuk rasa para buruh yang memprotes kebijakan tersebut. Edaran Menaker tersebut benar-benar dimanfaatkan para pengusaha untuk memangkas upah buruh dan meraih keuntungan,” ungkap Dadeng.
Menurut Dadeng THR adalah hak buruh. “Sudah ada aturan yang mewajibkan perusahaan membayar THR, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015,” ujarnya.
Dadeng mengatakan apabila THR dicicil, maka namanya bukan THR lagi. Sebab diberikan di luar dari Hari Raya Keagamaan. “THR itu kan tunjangan yang wajib diberikan pengusaha kepada buruhnya untuk kebutuhan di hari raya. Kalau dicicil hingga beberapa bulan itu bukan THR lagi namanya,” kata Dadeng.
Ketua DPC Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kabupaten Sukabumi secara tegas juga menyayangkan apabila perusahaan membayar hak THR buruh dengan cara dicicil. Apalagi setelah perusahaan memberlakukan sistem kerja No Work No Pay yang berimbas pada pengurangan nilai upah per bulan para buruh.
“Ini sangat keterlaluan. Bagaimana tidak, setelah pengusaha – pengusaha memberlakukan No Work No Pay, kemudian sekarang hampir semua perusahaan memberlakukan THR dicicil. Buruh terus dijadikan korban, buruh upahnya terus dirampas,” kata Dadeng.
Sikap pemerintah seolah mendukung kebijakan perusahaan yang memperbolehkan THR dibayar dengan cara dicicil dikritik Dadeng. “Biang kerok permasalahan ini adalah terbitnya Surat Edaran Menaker nomor M/6/HI.00.01/V/2020,” kritiknya.
Dadeng mendesak agar edaran tadi segera dicabut, sebab disaat edaran tersebut tidak dikeluarkan diduga tidak akan ada banyak kasus seperti sekarang ini. “Kami mendesak Menaker RI Ida Fauziyah untuk segera mencabut. Edaran ini hanya mengakomodir suara dan kepentingan pengusaha semata. Pemerintah harus melihat bahwa THR ini sangat dinantikan para buruh,” tegasnya.
“Tidak ada alasan perusahaan yang tidak mampu membayar THR. Bahkan sebelum adanya Covid-19, pengusaha sudah diberi banyak kemudahan oleh Presiden Jokowi melalui paket kebijakan ekonomi Jokowi jilid 1 hingga jilid 16,” pungkas Dadeng. (rein)