bongkah.id – Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sudah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 malam. Pengesahan tersebut mendapat penolakan masyarakat. Tidak hanya para buruh. Pun mahasiswa. Pun pengamat. Pun para cendekiawan. Penolakan bersumber dari isi UU yang dinilai berpotensi merugikan para buruh. Pun dunia pendidikan di Indonesia. Pun bidang lain.
Kendati demikian, ada pula elemen masyarakat Indonesia yang mendukung. Tidak hanya para pengusaha, yang merasa dapat angin segar dari pengesahan UU sapu jagat itu. Pun para pengamat. Demikian pula kaum buzzer pemerintah. Yang mengaku sudah membaca dan memahami UU yang tebalnya 1.000 halaman lebih itu.
“Saya pribadi dan Partai Gelora tidak mau terjebak dalam menyikapi sikap pro dan kontra terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja yang muncul di publik. Saya tidak mau terjebak dengan kemarahan, baik yang mengklaim bersama rakyat maupun tidak. Itu semua orang-orangnya dikendalikan parpol, tidak dikendalikan aspirasi rakyat,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah dalam keterangan tertulis yang diterima para wartawan politik, Minggu (11/10/2020).
Semua pihak yang menolak maupun mendukung UU tersebut, menurut mantan Wakil Ketua DPR RI ini, dikendalikan oleh ketua umum partai politik (parpol) yang melakukan ‘deal-deal politik’ dan mengambil untung dari peristiwa ini. Buktinya, ada parpol yang semula mendukung UU Ciptaker itu, mendadak mendeklarasikan berpihak pada rakyat dengan menolak. Fakta itu tak lepas dari kendali parpol masing-masing.
“Penolakan yang dilakukan parpol terhadap UU Cipta Kerja itu bukan murni aspirasi rakyat. Sikap itu bersumber dari pertimbang dagang untung rugi sebuah peristiwa politik,” ujarnya.
Independensi seorang anggota DPR pada periode 2019-2024 ini, dinilai, sudah tak ada lagi. Mereka bukan lagi wakil rakyat dalam arti sesungguhnya. Mereka sudah wakil parpol. Mereka sudah petugas parpol. Kebijakan yang dilakukan di Senayan sangat bergantung pada keputusan “para raja” di parpol.
“Ketum, Waketum, Sekjen, Bendum sangat powerful sekali. Mereka tinggal telepon kadernya yang berkantor di Senayan, kalau ada transaksi terhadap sebuah kebijakan. Perubahan sikap pun dapat langsung berbalik arah. Saat ini konstituen sudah tidak penting lagi, saat petinggi parpol sudah ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan dari para wakil rakyat. Atmosfer politik yang terjadi saat ini, sudah seperti lingkaran setan,” katanya.
Mata rantai lingkaran setan ini, ditegaskan, harus diputus. Pasalnya parpol telah mengangkangi pejabat publik. Mengendalikan anggota DPR. Hingga presiden. Fakta itu mencerminkan parpol telah melakukan kegiatan subversif terhadap kedaulatan rakyat. Parpol seharusnya menjadi think thank atau pemikir ketatanegaraan yang benar. Yang berkontribusi pada bangsa. Bukan mengendalikan wayang-wayang politik yang dipilih rakyat.
“Kendali parpol bukan hanya di legislatif saja. Namun, juga di eksekutif. Pejabat wali kota, bupati, gubernur, bahkan presiden ditekan. Kondisi ini harus dihentikan. Tidak ada lagi yang harus menjadi petugas partai,” ujarnya.
Akibat dari atmosfer politik tersebut, lanjut Fahri, DPR saat ini mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa. Fakta itu tercermin dari dampak negatif dari pengesahan UU Cipta Kerja yang begitu cepat. Tak dipungkiri jika kemudian peran DPR dipertanyakan. Menjadi wujud kedaulatan rakyat. Atau sekadar mewakili kepentingan parpol atau lainnya.
“Kita tidak tahu anggota DPR ini bekerja untuk rakyat atau kepentingan lain. Ini krisis besar parpol. Krisis besar lembaga perwakilan. Kita tidak tahu madzab atau falsafah di belakang Omnibus Law ini. Tiba-tiba menjadi rencana dalam program legislasi nasional. Tiba-tiba sudah disahkan jadi undang-undang,” katanya.
Pengesahan UU Cipta Kerja ini, diyakini, berpotensi menjadi yurisprudensi untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, guna memutus mata rantai lingakaran setan kekuatan parpol di legislatif dan eksekutif. Keterlibatan parpol dalam pembahasan berbagai kebijakan ini sudah terlalu besar.
“Saya sedih melihat DPR dan pemerintah terlalu cepat membohongi rakyat, sehingga Omnibus Law ditolak rakyat di mana-mana,” katanya.
Sebagaimana diketahui, pengesahan UU Cipta Kerja dipercepat dalam sidang paripurna 5 Oktober lalu. Sebanyak tujuh fraksi setuju dengan pengesahan tersebut. Yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, PAN, dan PPP. Sementara dua lainnya, Demokrat dan PKS menolak. Tidak hanya itu. Saat paripurna, Demokrat memilih untuk walk out dari pembahasan.
Penolakan pun muncul dengan berbagai aksi demonstrasi yang berujung ricuh di sejumlah daerah. Puncaknya, terjadi kericuhan dalam aksi demonstrasi di Jakarta, 8 Oktober lalu. Sejumlah pos polisi dan halte bus Transjakarta dibakar. Kondisi nyaris sama juga terjadi di berbagai daerah. Dari peristiwa unjuk rasa yang dilakukan para buruh, mahasiswa, dan masyarakat itu ribuan orang ditangkap polisi. Sebagian dilepas. Sementara puluhan ditersangkakan dengan beragam fakta pelanggaran. Puluhan lainnya diwajibkan isolasi, karena hasil swab tes pasca ditangkap terkonfirmasi positif Covid-19. (rim)