SIDANG Dakwaan terhadap terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (02/11/2020), sempat geger. Pun berpotensi melahirkan polemik baru yang akan membuat Polri kalang kabut. Ini karena dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, terkutip sebuah kalimat yang mengungkap adanya "Petinggi Polri" yang juga menikmati uang suap Rp7 miliar yang didakwakan pada terdakwan Napoleon, tapi petinggi polri tersebut sampai saat ini belum terdeteksi untuk dijerat hukum.

bongkah.id – Irjen. Pol. Napoleon Bonaparte memenuhi janjinya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (2/11/2020). Dia tak ingin jatuh dan terhina sendirian. Dia ingin jatuh bersama “Petinggi Polri” penerima jatah suap, yang terungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam sidang perdana skandal suap penghapusan Red Notice NBC Interpol buronan kasus cassie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra itu, terdakwa Napoleon itu secara tidak langsung telah melemparkan “bom waktu”. Sebuah data adanya Petinggi Polri yang ikut menikmati anggaran suap Rp7 miliar, yang diberikan terdakwa Tommy Sumardi dari terdakwa Djoko Tjandra. (….)

ads

Setelag gagal mengantarkan uang muka penghapusan red notice tersebut, Tommy dan Prasetijo meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri di lantai 11 Gedung Mabes Polri. Sesampai dikantornya, Tommy menghubungi Djoko Tjandra. Menceritakan kegagalannya mengantar uang muka tersebut, karena separoh dari uang muka diambil Prasetijo.

Bahkan terdakwa Napoleon menaikkan nilai anggaran penghapusan red notice tersebut. Nilainya menjadi Rp7 miliar. Anggaran tersebut untuk dibagi terdakwa Napoleon, dengan petinggi yang menempatkan dirinya sebagai Kadivhubinter.

Sehari kemudian, pada 28 April 2020, Djoko Tjandra meminta sekretarisnya menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke Tommy. Pada hari yang sama, Tommy kembali menemui terdakwa Napoleon di ruang kerjanya. Tanpa ditemani Prasetijo. Uang muka senilai 200 ribu dolar Singapura itu diserahkan kepada terdakwa Napoleon.

Sepulang menemui terdakwa Napoleon, Tommy melaporkan pada Djoko Tjandra. Jika uang muka sudah disampaikan. Mendengar kabar baik itu, Djoko Tjandra pada 29 April 2020 kembali meminta sekretarisnya menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Selanjutnya Tommy kembali menemui terdakwa Napoleon di ruang kerjanya. Untuk meneyerahkan uang muka termin kedua sejumlah 100 ribu dolar AS.

Setelah menerima uang muka sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 100 ribu dolar AS itu, terdakwa Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto. Untuk membuat surat ke Imigrasi. Selanjutnya Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia ditugaskan menandatangani surat Nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI tanggal 29 April 2020 itu atas nama Kadivhubinter Polri.

Isi surat menginformasikan, bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO, yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7. Selanjutnya diinformasikan, data DPO yang diajukan Divhubinter Polri kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham sudah tidak dibutuhkan lagi.

Pada 4 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretarisnya mengantarkan uang muka 150 ribu dolar AS kepada Tommy. Pada hari yang sama, Tommy menemui Prasetijo. Mereka kemudian menemui terdakwa Napoleon. Dalam pertemuan itu terdakwa Tommy menyerahkan uang 150 ribu dolar AS titipan Djoko Tjandra pada terdakwa Napoleon.

Setelah menerima anggaran penghapusan red notice termin ketiga, terdakwa Napoleon kembali memerintah Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat. Selanjutnya Nugroho kembali ditugaskan menandatangani surat nomor B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020 itu atas nama Kadivhubinter Polri. Surat untuk Dirjen Imigrasi yang berisi pemberitahuan penghapusan “Interpol Red Notice” atas nama buronan Djoko Tjandra.

Pada 5 Mei 2020, Tommy dan Prasetijo kembali menemui terdakwa Napoleon di ruang kerjanya. Tommy kembali menyerahkan anggaran suap termin keempat sejumlah 20 ribu dolar AS. Usai menerima uang suap tersebut, terdakwa Napoleon kembali membuat surat perihal penyampaikan penghapusan “Interpol Red Noices” atas nama Djoko Soegiarto Tjandra Control Nomor: A-1897/7-2009 dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).

Prosedur penerbitan surat pemberitahuan pada Dirjen Imigrasi ketiga kalinya itu sama dengan dua surat sebelumnya. Tommy Aria Dwianto diperintahkan membuat suratnya. Sementara Nugroho ditugaskan menandatangani surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 05 Mei 2020 itu atas nama Kadivhubinter Polri, yang saat itu juga ada di ruang dinasnya. Kondisi sama saat Nugroho menandatangani dua surat sebelumnya.

Dengan pengiriman anggaran suap penghapusan Red Notice Djoko Tjandra itu, maka terdakwa Napoleon sudah menerima kucuran anggaran suap sebanyak 200 ribu dolar Singapura (termin pertama), 100 ribu dolar AS (termin kedua), 150 ribu dolar AS (termin ketiga), dan 20 ribu dolar AS (termin keempat). Totalnya sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.

Namun, tidak demikian yang dirasakan Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Alumni Akpol 1988 ini dicengkeram kecurigaan. Sebab ditugaskan terdakwa Napoleon untuk menandatangi tiga surat dinas Dihubinter Polri sebagai Sekretariat NBC Interpol Indonesia, untuk Dirjen Imigrasi. Yang ketiga surat itu terkait penghapusan red notice Interpol atas nama buron cassie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.

Dasar kecurigaan Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo sangat beragam. Pertama, posedur penerbitan surat dinas untuk Dirjen Imigrasi yang menyalahi protap. Dia selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia diminta menandatangani ketiga surat tersebut atas nama Kadivhubinter. Sementara Kadivhubinter ada di ruang dinasnya. Seharusnya ketiga surat resmi yang dikirimkan ke Dirjen Imigrasi itu ditandatangani sendiri oleh Kadivhubinter selaku Kepala NBC Interpol Indonesia.

Kedua, pemberitahuan terjadinya penghapusan red notice Interpol atas buronan Djoko Tjandra pada Dirjen Imigrasi. Prosedur itu tidak benar. Seharusnya pemberitahuan terkait red notice interpol itu pada Kejaksaan Agung. Bukan pada Dirjen Imigrasi. Sebab Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan Agung. Sehingga Kejaksaan Agung dapat menyusun kebijakan hukum yang benar terkait pengamanan dan tindakan hukum terhadap buronan Djoko Tjandra.

Ketiga, seringnya melihat terdakwa Tommy Sumardi mengunjungi terdakwa Napoleon, baik datang sendirian. Maupun diantar terdakwa Prasetijo, yang jobdisnya sebagai Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri tidak terkait dengan Divhubinter Polri.

Ironisnya Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo selaku bawahan terdakwa Napoleon, tidak bisa berbuat banyak. Status Polri yang disandangnya mewajibkan patuh pada pimpinan. Kendati demikian, mantan Kepala Biro SDM Polda Jatim ini bersumpah akan bicara blak-blakan atas semua yang dialami, saat konspirasi penghapusan red notice Interpol atas nama buronan Djoko Tjandra terungkap. Pria kelahiran Jakarta 11 Oktober 1969 ini tak ingin namanya tercoreng, karena skandal penyelewengan jawaban yang dilakukan terdakwa Napoleon yang juga teman satu alumni Akpol 1988.

Sikap blak-blakan yang akan dilakukan Nugroho diantaranya, ditugaskan terdakwa Napoleon untuk menandatangani tiga surat dinas ke Dirjen Imigrasi. Ketiga surat yang tak dipungkiri dia curigai sebagai bentuk konspirasi penghapusan red notice NBC Interpol atas nama buronan cassie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.

Demikian pula, kunjungan rutin terdakwa Tommy Sumardi pada terdakwa Napoleon, baik sendirian maupun bersama terdakwa Prasetijo, yang juga teman satu alumni dengan Kabareskrim Komjen Pol. Listyo Sigit Praboso di Akpol 1991.

Prediksi adanya konspirasi penghapusan Red Rotice Interpol atas nama buronan Djoko Tjandra yang dirasakan Nugroho akhirnya terbukti. Pada 8 Juni 2020, Djoko Tjandra leluasa masuk wilayah Indonesia. Tanpa terdeteksi Dirjen Imigrasi. Dalam satu hari, mantan pemilik Bank Bali itu dapat mengurus E-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Dilayani dan didampingi Lurah Grogol Selatan bak pejabat pemerintah pusat, sampai E-KTP atas namanya terbit.

Setelah E-KTP terbit, maka Djoko Tjandra didampingi pengacaranya Anita Kolopaking mendatangi PN Jakarta Selatan. Mengajukan PK atas keputusan MA pada 2009 yang memvonisnya hukuman pidana penjara 2 tahun, atas skandal cassie Bank Bali yang menjeratnya.

Keberhasilan buronan Djoko Tjandra leluasa mengurus E-KTP dan mengajukan PK ke PN Jakarta Selatan, tanpa terdeteksi Dirjen Imigrasi tersebut berkat tiga surat Divhubinter Polri yang dikirimkan. Akibat ketiga surat tersebut Dirjen Imigrasi Kemenkumham pada 13 Mei 2020 melakukan penghapusan status DPO Djoko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Dirjen Imigrasi.

Penghapusan itu membuat buronan Djoko Tjandra masuk wilayah Indonesia. Juga mengungkap kualitas integritas beberapa oknum Polri, yang diwakili oleh terdakwa Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dan terdakwa Brigjen Pol. Prasetijo Utomo.

Jaksa menuturkan latar belakang kasus suap ini, berawal pada 2015 saat Sekretaris NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri yang dijabat oleh Brigjen Pol. Setyo Wasisto bersurat kepada Dirjen Imigrasi (u.p. Dirdikdakim) ihwal DPO a.n Djoko Tjandra, yang diperkirakan akan masuk ke Indonesia.

Berdasarkan surat tersebut, Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian pada Dirjen Imigrasi menginstruksikan kepada Kepala Kantor Imigrasi seluruh Indonesia melalui Surat Nomor IMI.5.GR.02.06- 3.20135 tanggal 12 Februari 2015, untuk melakukan tindakan pengamanan dan berkoordinasi dengan aparat Kepolisian setempat untuk dilakukan tindakan hukum terhadap buronan kasus cassie Bank Bali Djoko Tjandra. (rim/EnD)

2

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini