Bongkah.id — Di balik pagar hijau dan tembok tinggi pesantren, tak semua doa santri naik dengan tenang. Bagi sebagian anak yang diam-diam memendam luka, pesantren kadang berubah dari rumah ilmu menjadi ruang sunyi yang menutup rapat cerita pilu.
Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di pondok pesantren, Aan Anshori tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Kordinator Jaringan Alumni Santri Jombang (JASIJO) itu angkat suara, menyoroti praktik kekerasan seksual yang mencoreng nama salah satu pesantren di Kesamben, Jombang.
“Sebagai orang yang pernah nyantri, aku sangat prihatin atas praktek kekerasan seksual di salah satu pesantren di Kesamben Jombang,” tutur Aan. Kamis (3/7/2025).
Bagi Aan, waktu yang lama untuk membawa kasus ini ke permukaan adalah luka tambahan bagi para korban. Trauma yang mereka pikul menumpuk, menyisakan dampak psikis yang tidak kecil. Karena itu, Aan memberi apresiasi penuh pada keberanian korban, keluarga, dan aparat penegak hukum yang berhasil mendorong kasus ini ke ranah keadilan.
“Cukup lamanya kasus tersebut terjadi memberikan dampak psikis hebat pada korban. Itu sebabnya aku mengapresiasi pihak korban, keluarga, dan APH yang telah berhasil membawa kasus ini ke meja hukum,” lanjutnya.
Namun, ia sadar perkara serupa bisa kembali terulang jika langkah pencegahan tidak pernah diambil. Ia menekankan pentingnya peran Kementerian Agama, khususnya di Jombang, untuk bersikap lebih tegas. Protokol antikekerasan seksual, katanya, harus ada dan benar-benar dijalankan di setiap pesantren, tanpa terkecuali.
“Kejadian seperti ini akan terus terjadi dan memakan korban manakala para pihak enggan mengambil langkah preventif. Itu sebabnya aku mendorong Kementerian Agama Jombang bersikap proaktif dengan cara memastikan seluruh pesantren memiliki dan menjalankan protokol antikekerasan seksual bagi santriwan/santriwati. Bagi pesantren yang menolak protokol tersebut, Kemenag bisa melakukan langkah-langkah dari persuasif hingga punitif,” jelasnya.
Bagi Aan, peran pencegahan tak cukup berhenti di pemerintah atau pengelola pesantren. Orang tua juga harus lebih peka pada perubahan sikap anak-anak mereka di pondok. Ketika melihat tanda-tanda ganjil, wali santri perlu bersuara, meminta bantuan pada lembaga atau organisasi yang peduli pada hak anak dan pendidikan.
“Juga menjadi penting bagi wali santri untuk bersikap responsif manakala menemukan hal-hal ganjil dalam perilaku santri. Serta tidak segan-segan meminta bantuan kepada lembaga/organisasi/institusi yang peduli terhadap hak anak dan pendidikan,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, jeritan hati seorang remaja berusia 16 tahun, yang kita sebut saja Bintang, harus menanggung beban berat perlakuan cabul dari seseorang yang seharusnya menjadi pelindungnya, inisial MDTF (23) seorang pengurus pesantren.
Kini, sang pengurus yang terjerat dugaan pencabulan sesama jenis itu akan segera duduk di kursi pesakitan, mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
“Kasusnya ini sesama jenis, pelaku dan korban sama-sama laki-laki,” ungkap D, seorang sumber terpercaya dari Kecamatan Kesamben, yang dekat dengan lingkaran pesantren, Selasa (1/7/2025).
Ia menuturkan, tabir kelam ini mulai tersingkap pada Maret 2025 lalu. “Kalau tidak salah, pertengahan Maret itu dia ditangkap,” imbuhnya, suaranya terdengar prihatin.
D merincikan, perbuatan bejat MDTF diduga telah berlangsung selama beberapa tahun, sejak Bintang pertama kali menginjakkan kaki di pesantren itu pada 2023. MDTF, yang berperan sebagai pengurus asrama tempat Bintang tinggal, memanfaatkan posisinya untuk memaksa korban melakukan perbuatan cabul.
“Infonya sejak tahun 2023, jadi pelaku ini pengurus asrama korban, yang memaksa korbannya itu dipaksa untuk berbuat cabul sejenis dengan pelaku,” lontarnya, mengindikasikan adanya unsur paksaan dan penyalahgunaan wewenang. (ima/sip)