DUO jenderal Polri, Brigjen Pol. Prasetijo Utomo dan Irjen Pol. Napoleon Bonaparte, yang termagis uang suap buronan korupsi kasus Cassie Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra. Keduanya diduga menyelewengkan jabatannya sebagai petinggi Mabes polri untuk memperkaya diri sendiri. Pun membuat masyarakat meragukan integritas personel Polri dalam penegakkan hukum.

bongkah.id – Aliran uang suap Djoko Tjandra pada Brigjen Pol. Prasetijo Utomo yang selama proses penyidikan masih kabur, akhirnya terungkap dalam sidang terdakwa Tommy Sumardi sebagai pemberi suap dari buronan korupsi skandal cassie Bank Bali Djoko Tjandra. Uang suap yang diterima alumni Akpol 1991 itu sebanyak dua kali. Tidak hanya itu, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri itu disebut meminta jatah uang suap. Sebab dia merasakan ikut membantu. Menghilangkan nama DJoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) Interpol.

“Saat di perjalanan di dalam mobil, terdakwa Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh terdakwa Tommy Sumardi. Terdakwa kemudian mengatakan ‘banyak banget ini ji buat beliau? Buat gua mana?. Saat itu uang yang dibawah terdakwa Tommy dibelah jadi dua bagian oleh terdakwa Prasetijo, dengan mengatakan ‘ini buat gw, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2’,” kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung Zulkipli di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

ads

Percakapan itu, menurut JPU Agung Zulkipli, terjadi pada 27 April 2020. Saat rekan terdakwa Djoko Tjandra bernama Tommy Sumardi bertemu terdakwa Prasetijo Utomo, untuk menghadap Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri terdakwa Irjen Pol. Napoleon Bonaparte.

“Melihat perilaku terdakwa Prasetijo itu, terdakwa Tommy Sumardi mengatakan ‘Ya udah lo aja yang nyerahin semuanya’,” kata JPU yang karib dipanggil Agung itu.

Kisah tebaran uang suap terdakwa Djoko Tjandra pada dua jenderal Polri itu, terdakwa Prasetijo dan terdakwa Napoleon berawal pada awal April 2020. Dikisahkan Agung, bermula dari obsesi terdakwa Djoko Tjandra untuk masuk ke Indonesia. Dia ingin mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas statusnya sebagai terpidana kasus korupsi Bank Bali dan divonis hukuman pidana penjara selama 2 tahun. Keinginan itu menguat, setelah terdakw Djoko mendapat informasi jika “Interpol Red Notice” atas dirinya sebagai DPO Interpol mulai 12 Februari 2015 itu, telah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Prancis.

Mendengar kabar gembira itu, terdakwa Djoko Tjandra lalu menghubungi rekan bisnisnya, terdakwa Tommy Sumardi yang tinggal di Jakarta. Dia meminta Tommy mengurus kepentingannya untuk masuk ke Indonesia. Terdakwa Tommy diminta mengkondisikan rekayasa penyusupan dirinya ke Indonesia itu, dengan pejabat NCB Interpol Indonesia yang ditangani Divisi Hubungan Internasional Polri.

Selanjutnya terdakwa Tommy menemui koleganya, terdakwa Prasetijo Utomo di ruang Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri. Pertemuan itu berlanjut dengan terdakwa Prasetijo memperkenalkan terdakwa Tommy kepada terdakwa Napoleon Bonaparte, selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Juga menceritakan tujuan perkenalannya, yang ditugaskan oleh terdakwa Djoko Tjandra.

Usai pertemuan tersebut, terdakwa Prasetijo menugaskan bawahannya, Brigadir Fortes untuk mengedit “file” surat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran. Editing surat tersebut disesuaikan dengan format permohonan penghapusan “Red Notice” yang ditunjukan terdakwa Napoleon sebagai contoh. Surat palsu itu kemudian dikirimkan ke terdakwa Tommy Sumardi.

Pada 16 April 2020, terdakwa Tommy bersama terdakwa Prasetijo kembali menemui terdakwa Napoleon di ruangan Kadivhubinter Polri. Dalam pertemuan itu, terdakwa Napoleon meminta anggaran untuk mengurus penghapusan DPO. Nilainya Rp3 miliar. Informasi tersebut kemudian disampaikan terdakwa Tommy pada terdakwa Djoko Tjandra.

Pada 27 April 2020, terdakwa Tommy menemui terdakwa Prasetijo. Dalam pertemuan itu terdakwa Tommy membawa anggaran penghapusan DPO terdakwa Djoko Tjandra dari Red Notice Interpol. Nilainya 100 ribu dolar AS. Melihat uang suap tersebut, terdakwa Prasetijo minta bagian. Uang suap tersebut langsung dibagi jadi dua bagian. Separoh langsung masuk ke loker mejanya, sementara separohnya akan diberikan ke terdakwa Napoleon.

Saat uang suap yang tersisa separoh itu dikembalikan pada terdakwa Tommy Sumardi, maka sodoran itu dikembalikan pada terdakwa Prasetijo untuk diserahkan sendiri pada terdakwa Napoleon. Selain menyerahkan uang tersebut, terdakwa Tommy meminta terdakwa Prasetijo untuk menceriterahkan, bahwa separoh dari uang tersebut sudah diambilnya.

Setiba di ruangan Kadivhubinter, terdakwa Prasetijo menyerahkan sisa uang dari terdakwa Tommy. Selain menyerahkan uang suap sejumlah 50 ribu dolar AS itu, terdakwa Prasetijo juga mengakui jika separoh dari uang suap tersebut sudah diambilnya. Mendengar kelancangan juniornya itu, terdakwa Napoleon tidak mau menerima sisa uang suap yang diangsurkan terdakwa Prasetijo.

“Dengan mengatakan, ‘Ini apaan nih segini. Ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji, soalnya kan buat depan juga. Bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata ‘petinggi kita ini’,” ujar JPU.

Akhirnya Tommy dan Prasetijo pun meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri, dengan membawa “paper bag” warna gelap. Pada 28 April 2020, terdakwa Djoko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke terdakwa Tommy Sumardi. Selanjutnya Tommy kembali menemui terdakwa Napoleon pada hari yang sama, di ruang kerja terdakwa Napoleon. Uang suap senilai 200 ribu dolar Singapura itu diserahkan kepada terdakwa Napoleon. (rim/bersambung)

5

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini