bongkah.id – Innalillahi wa Inna Ilahi Rajiun. Kabar duka datang dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU). KH Hasyim Wahid bin Wahid Hasyim (Gus Im), adik bungsu dari almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), telah berpulang, Sabtu (1/8/2020).
Gus Im meninggal dunia di RS Mayapada Jakarta pada pukul 04.18. Menurut penuturan salah satu kerabat Gus Im, KH Abdul Muiz Aziz yang merupakan pengasuh Pesantren Aziziyah Denanyar, Jombang, jenazah akan dimandikan dan disholatkan di Ciganjur, Jakarta Selatan.
“Sesuai dengan wasiat almarhum, beliau akan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Pesantren Denanyar Jombang,” kata Gus Muiz.
Kedekatan Gus Im dan Gus Dur semasa hidupnya sangatlah erat. Gus Im merupakan tokoh sentral dibalik kepemimpinan Gus Dur, baik semasa menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PBNU tiga periode (1984-1999). Maupun selama menjabat sebagai Presiden RI keempat (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001).
Gus Im pernah terlibat dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Putra pendiri NU Wahid Hasyim itu juga pernah menjadi salah satu pengurus dari PDIP. Selain itu, pernah menjadi dan anggota Yayasan Keluarga Pembina Kesatuan (YKPK).
Kisah lain yang mencerminkan keakraban Gus Im dan Gus Dur tergores dalam peristiwa tragis di gedung PBNU, pada malam 19 Januari 1998. Saat itu, Gus Im sedang menemani Gus Dur di ruang kerja Ketua PBNU. Pada suatu saat, Gus Dur pamit ke kamar mandi, yang ada di seberang ruang kantor. Setelah sekian lama, Gus Dur tak kunjung kembali. Itu sebuah peristiwa yang tidak biasa dilakukan Gus Dur.
Merasa curiga, Gus Im dan beberapa orang membuka paksa pintu kamar mandi. Saat itu mereka mendapati Gus Dur tak sadarkan diri. Telentang di lantai. Secepatnya Gus Im mengontak kakaknya yang lain, Umar Wahid Hasyim yang berprofesi dokter. Setelah dilakukan pertolongan pertama, maka Gus Dur dilarikan ke rumah sakit.
Melihat kondisi Gus Dur yang sangat memprihatinkan, Umar Wahid pun mengumpulkan teman-temannya. Malam itu para ahli bedah syaraf terbaik di Indonesia berkumpul di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Para dokter ahli itu berunding dengan Umar.
Saat itu, kondisi Gus Dur sangat menghawatirkan. Tekanan darahnya meningkat hingga ke tingkat fatal. Denyut nadinya serta tanda-tanda vital lainnya, menunjukkan nyaris pada titik tak dapat bertahan hidup.
Diagnosis para dokter ahli itu, bahwa Gus Dur menderita stroke berat. Satu-satunya cara mengatasi masalah ini, adalah pembedahan darurat yang penuh risiko. Memasukkan sebuah pipa kecil plastik ke dalam tengkorak kepala Gus Dur. Pipa itu untuk mengeluarkan cairan yang menggenangi rongga tengkorak.
Namun malam itu, pembedahaan darurat tak mungkin dilakukan. Resikonya akan membawa kematian jika dilakukan. Akhirnya para dokter ahli dan Umar Wahid, Gus Im, dan keluarga sepakat menunggu hingga keesokan paginya.
Saat pagi tiba, Umar Wahid meminta para ahli bedah syaraf untuk melakukan pembedahan. Mereka protes. Bagi mereka, pembedahan tersebut mengandung banyak risiko. Sang pasien berpotensi meninggal di meja operasi.
Namun Umar Wahid menanggapinya demikian: “Kami berhutang kepadanya untuk memberikan kesempatan. Kakak saya sering kali keluar secara mengejutkan, dari situasi yang sulit. Paling tidak kita harus memberikan kesempatan kepadanya. Kita harus mengoperasinya,” katanya.
Permintaan Umar Wahid itu tak bisa ditolak lagi, oleh para dokter ahli syarat tersebut. Saat tim bedah berkumpul di ruang bedah, setiap orang merasakan dekatnya malapetaka. Tim hampir merasa pasti Gus Dur tidak akan keluar dari ruang bedah ini dalam keadaan hidup.
Namun, di luar perkiraan. Operasi tersebut berjalan mulus. Dalam beberapa jam kemudian, Gus Dur telah menunjukkan sedikit tanda-tanda ke arah kesembuhan. Yang mengejutkan lagi. Sehari kemudian, ternyata Gus Dur telah mampu berbicara dengan tamu-tamunya. Gus Dur telah melewati serangan stroke. (rim)