
Bongkah.id – Uji coba campuran etanol dalam Pertalite menuai keluhan publik. Sejumlah pengendara di Jombang alami kerusakan mesin, sementara dua operator swasta batal beli BBM Pertamina karena kandungan etanol dinilai bermasalah.
Rencana pemerintah menerapkan bahan bakar minyak (BBM) ber-etanol atau E10 (campuran etanol 10 persen) yang diklaim ramah lingkungan kini memunculkan persoalan baru.
Di berbagai daerah, terutama di Jombang, Jawa Timur, sejumlah pengendara sepeda motor mengeluhkan mesin kendaraan mereka brebet, mogok, dan rusak mendadak setelah mengisi bahan bakar Pertalite yang diduga bercampur etanol.
Keluhan itu datang dari KWS (19), warga Kecamatan Ngoro, yang terpaksa mengeluarkan uang servis setelah motornya mati total tak lama usai mengisi Pertalite.
“Awalnya normal, tapi sekitar pukul 11.00 motor mulai brebet saat digas. Setelah dicek, ternyata bensinnya bercampur etanol,” ujarnya, Rabu (29/10/2025).
Ia harus membayar Rp 69.500 untuk menguras tangki dan mengganti bahan bakar dengan Pertamax. Keluhan serupa dialami FA (26), warga Desa Tebel, Kecamatan Bareng. Motornya mogok tak lama setelah mengisi Pertalite.
“Setelah diperiksa, ditemukan air dan etanol di tangki. Mekanik bilang karburator dan indikator rusak,” katanya.
FA mengaku harus mengeluarkan Rp 175 ribu untuk biaya perbaikan dan penggantian bahan bakar. “Sebelumnya tidak pernah bermasalah. Setelah ganti Pertamax, aman,” tambahnya.
Keluhan Massal
Pemilik bengkel di Jogoroto, Davin, mengaku menerima banyak pelanggan dengan kasus serupa. “Dalam sehari kemarin ada lima motor, keluhannya sama: brebet, mogok, dan bensinnya bau aneh,” ujarnya.
Menurutnya, sebagian besar konsumen mengisi BBM di SPBU wilayah Mojowarno dan pom mini sekitar Jombang. “Rata-rata mereka bilang ngisi Pertalite di SPBU Mojowarno,” ujarnya.
Kasus di Jombang ini menambah daftar panjang keluhan masyarakat terhadap kualitas BBM Pertamina. Bahkan, keluhan serupa juga muncul di Malang, di mana pengguna Pertamax mengaku bahan bakarnya “beraroma spirtus”. Video yang diunggah di media sosial X (Twitter) memperlihatkan botol berisi cairan biru dengan bau berbeda dari bensin biasa.
Operator Swasta Menolak
Tak hanya konsumen, dua operator SPBU swasta, BP dan Vivo, juga menolak membeli base fuel Pertamina karena hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan etanol mencapai 3,5 persen.
“Vivo sempat setuju membeli 40 ribu barel, tapi dibatalkan karena kandungan etanol itu,” ujar Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, awal bulan Oktober.
Pertamina beralasan kadar etanol tersebut masih aman karena berada di bawah batas 20 persen yang diperbolehkan Kementerian ESDM. Namun, pembatalan dari dua operator besar menandakan adanya keraguan serius terhadap kualitas dan konsistensi BBM nasional.
Secara kimia, etanol memang meningkatkan angka oktan, namun memiliki nilai energi lebih rendah dibanding bensin murni. Mengutip analisis Bell Performance, campuran E10 dapat mengurangi efisiensi energi 3,5–5 persen, membuat jarak tempuh kendaraan berkurang.
Lebih berbahaya lagi, etanol memiliki sifat higroskopis — mudah menyerap air — yang dapat menyebabkan korosi pada tangki, penyumbatan filter, hingga kerusakan karburator.
“Untuk kendaraan keluaran lama yang masih menggunakan karburator, etanol bisa menjadi racun teknis,” kata seorang mekanik senior di Surabaya. “Mesin tak didesain untuk pembakaran bahan beroksigen tinggi seperti etanol.”
Transparansi Minim Posko Pengaduan
Menanggapi maraknya keluhan, Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus membuka posko pengaduan di beberapa titik, seperti SPBU MT Haryono dan SPBU Sawunggaling di Bojonegoro, serta SPBU Gedongombo di Tuban.
Namun hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari Pertamina maupun Kementerian ESDM mengenai kemungkinan pencampuran etanol dalam Pertalite di luar uji coba resmi.
Pemerintah memang tengah mendorong transisi energi hijau dengan mengganti sebagian bahan bakar fosil menggunakan etanol dari tebu dan jagung. Secara ide, langkah ini baik untuk menekan emisi karbon. Tetapi, tanpa kesiapan teknis dan sosialisasi menyeluruh, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang sosial dan ekonomi.
Konsumen kecil, terutama pemilik sepeda motor lawas — yang jumlahnya masih dominan di Indonesia — berisiko menjadi korban pertama dari kebijakan yang terburu-buru.
Kasus ini menunjukkan bahwa kebijakan energi bersih tidak bisa hanya berdasar pada ambisi politik atau label “ramah lingkungan”.
Tanpa pengawasan mutu, transparansi data dan kesiapan infrastruktur, BBM ber-etanol bisa berubah dari solusi hijau menjadi sumber kerugian baru bagi rakyat.
Masyarakat kini menunggu kejelasan apakah benar ada pencampuran etanol tanpa sosialisasi? Lantas siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan kendaraannya rakyat? (ima/kim)



























