Bongkah.id –Peta kekuatan politik pada Pemilu 2024 mulai tergambar seiring gerakan elit parpol yang saling membaca dan menjajaki. Kontestasi politik tiga tahun mendatang diprediksi akan memunculkan tiga koalisi pengusung capres-cawapres.
Pengamat Yunarto Wijaya memprediksi, Pemilu 2024 akan melahirkan 3 koalisi parpol yang bertarung. Sebab, kata dia, banyak ambisi dari ketum parpol yang melihat Pemilu 2024 sebagai peluang besar menjadi capres.
“Saya menduga koalisi tidak hanya terbentuk menjadi dua kubu, tapi minimal ada 3 kubu kenapa? Karena ambisi dari partai-partai menengah, ambisi dari ketum partai menegah itu kan juga lebih besar di periode 2024 ini karena mereka merasakan ini momen yang tidak dimiliki di 2019, incumbent masih bisa maju kembali,” jelas Yunarto di Jakarta, Senin (29/3/2021).
Yunarto meyakini, PDIP sebagai juara Pemilu 2019 masih akan menjadi pemain inti dalam pergerakan parpol membentuk koalisi. Partai banteng moncong putih ini bisa saja memainkan sejumlah opsi strategi, antara lain berkoalisi dengan Gerindra.
“Atau tidak sama sekali. Kita sudah enggak bisa gunakan logika lama, oposisi melawan koalisi yang sekarang bersatu. Tetapi memang yang akan tetap bisa dilihat adalah PDIP hampir pasti akan memiliki koalisinya tersendiri,” ulasnya.
Kendati, Yunarto mengatakan, peta koalisi akan mulai mengerucut sejak 2 tahun sebelum pelaksanaan pemilu dimulai. Hanya, ia memastikan, PDIP akan membentuk koalisi sendiri karena perolehan suara di parlemen yang tinggi.
Menurut Yunarto, jika akhirnya memilih berkoalisi dengan Gerindra, PDIP akan dihadapkan pada pilihan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai capres. Opsi ini mungkin akan menjadi pertimbangan serius di internal patai pimpinan Megawati Soekarnoputri.
“Kalau mengikuti prediksi yang paling klasik PDIP berkoalisi dengan Gerindra, tetapi otomatis Prabowo yang akan jadi capres. Pilihan ini agak berlawanan dengan pemetaan kekuatan yang sebenarnya memposisikan PDIP memang jauh lebih tinggi suaranya dari Gerindra,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika ini.
Sebab, imbuhnya, sebagai partai penguasa dan dominan di parlemen, secara logika PDIP harusnya mendapatkan jatah nomor satu. Lebih lanjut, menurutnya, ideologi partai akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi bagaimana koalisi parpol akan terbentuk di 2024.
“Jadi bukan tidak mungkin ketika ada kekecewaan dari partai tertentu termasuk di level-level partai menengah mereka akan memposisikan dirinya untuk blok sendiri, yang notabene akan membuat pertarungan tidak menjadi head to head. Apalagi aturan dari pilpres menyatakan harus 50 persen plus 1. Artinya peluang masih sangat mungkin terjadi buat siapa pun, minimal ikut dalam pertarungan ronde kedua,” tuturnya.
Saat ini, situasi politik di barisan parpol koalisi pendukung pemerintah tidak begitu kondusif. Perpecahan partai koalisi pemerintah dipercaya bakal terjadi seiring masa pemerintahan Jokowi yang sudah memasuki tahun kedua.
Beberapa isu yang menjadi alasan perpecahan di antaranya soal perbedaan sikap antara partai koalisi pendukung Jokowi sudah terlihat dalam rencana revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Golkar dan NasDem mendorong revisi dilakukan dan salah agenda utamanya menggeser pilkada menjadi 2022 atau 2023. Sementara PDIP, motor utama koalisi, menolak revisi UU tersebut dan meminta semua pihak fokus dalam penanganan pandemi virus corona.
Jokowi bahkan mengumpulkan sejumlah mantan anggota tim kampanye Pilpres 2019 dari beberapa partai politik. Dalam pertemuan itu, Jokowi ingin agenda Pilkada Serentak 2024 dipertahankan seperti diatur UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini. Mantan wali kota Solo itu tegas menolak revisi UU Pemilu yang diusulkan DPR.
Usai pertemuan itu, sikap Golkar dan NasDem melunak. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh meminta kadernya di Senayan menghentikan pembahasan revisi UU Pemilu.
“Suara-suara kritis terhadap pemerintah dan presiden, akan bermunculan (dari partai koalisi). Itu alamiah. Kutukan periode kedua pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno.
Adi mengatakan, waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke depan sangat berpengaruh pada bursa calon presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Tidak mengherankan kata Adi, apabila sikap partai-partai di DPR terpecah mengenai revisi UU Pemilu.
Hal ini dikarenakan perubahan UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 10/2016 tentang Pilkada berkaitan langsung dengan pelaksanaan Pilkada mendatang. Karenanya Adi menilai, polemik revisi UU Pemilu justru bukan mengarah pada hal yang substansial untuk perbaikan kualitas demokrasi, melainkan hanya sebatas kepentingan partai.
“Karenanya, kalau nanti ada revisi, harus dikawal. Karena kepentingan partai seringkali berbeda dengan keinginan rakyat,” katanya. (bid)