VONIS sanksi ringan atas pelanggaran kode etik ketiga kalinya Ketua KPK Firli Bahuri, secara politik dan hukum menyiratkan jika penegakan hukum di internal KPK sudah terkontaminasi. karena itu, sudah saatnya dilakukan pembersihan di internal KPK, seperti yang dilakukan petugas cleaning service yang setiap dua hari sekali membersihkan logo KPK di dinding Gedung Merah Putih dari kontainasi debu jalanan.

bongkah.id –Keputusan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan, Ketua KPK Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik KPK. Pun divonis sanksi pelanggaran ringan terkait gaya hidup hedonisme saat pulang kampung. Demikian pula ketidakjujuran atas motifnya menyewa menyewa helikopter. Secara politik dan hukum membuktikan Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK 2019, Presiden Joko Widodo, dan Komisi III DPR RI telah gagal memilih dan memberikan amanah terhadap lembaga antikorupsi yang berintegritas.

Demikian peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan dalam keterangan resminya, Senin (28/9/2020).

ads

Sanksi ringan Dewas KPK yang divoniskan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri, menurut dia, secara hukum telah mengonfirmasi jika Pansel Ketua KPK 2019, Presiden Jokowi dan Komisi III DPR telah gagal memilih pimpinan lembaga antikorupsi yang benar-benar berintegritas.

Dewas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Firli karena terbukti melanggar kode etik lantaran menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020, Teguran Tertulis II berlaku selama 6 bulan.

PENELITI ICW Kurnia Ramadhan menilai vonis sanksi ringan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri itu layak ditunjau lagi. Sebab pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli atas gaya hidup hedonismenya bukan yang pertama kali. Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, dia juga telah melakukan dua pelanggaran kode etik. Firli juga telah divonis sanksi berat oleh Dewan Kehormatan KPK yang melakukan sidang etik pada Sep

Karena itu, Kurnia meminta kasus pelanggaran etik yang ketiga kalinya dilakukan Firli tersebut menjadi catatan bagi Pansel Ketua KPK akan datang, Jokowi, dan anggota DPR RI. Keteledoran dalam memilih calon Ketua KPK yang integritasnya sudah terbukti dibawah standar, hendaknya tidak diulang lagi. Secara politik dan hukum, keteledoran dan memaksakan dijadikannya sosok kurang berintegritas, tidak hanya akan mencoreng kredibilitas lembaga antirasuah. Namun, juga terkategori sebagai salah satu dugaan untuk menggebosi dan mencabuti tarik KPK sebagai lembaga antikorupsi, yang saat ini menjadi harapan rakyat Indonesia dalam memberantas korupsi. Pun memburu para koruptor, yang gagal dijerat lembaga hukum lainnya.

Sebelumnya, Kurni mengatakan, Dewas KPK seharusnya menjatuhkan sanksi berat dan merekomendasikan agar Firli mengundurkan diri sebagai ketua KPK. Ini karena perilaku hedonisme menggunakan helikopter saat pulang ke kampung halaman itu, merupakan bentuk pelanggaran etik Pasal 29 ayat (1) huruf f dan g UU Nomor 19 Tahun 2019. Yang didalamnya menyebutkan, syarat pimpinan KPK adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral tinggi, dan reputasi yang baik.

Sementara Firli, dinilai Kurnia, tak lagi memenuhi syarat tersebut. Firli terbukti telah melanggar kode etik KPK sebanyak tiga kali. Pada pelanggaran kode etik pertama dan kedua yang dilakukan Firli saat menjabat Deputi Penindakan KPK, telah divonis sanksi berat oleh Dewan Kehormatan KPK dalam sidang kehormatan in-absentia, September 2020.

Pelanggaran etik pertama yang dilakukan Firli saat sebagai Deputi Penindakan KPK adalah melakukan pertemuan dengan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi, yang saat itu menjadi obyek penyidikan KPK atas dugaan kasus gratifikasi. TGB diduga menerima aliran dana divestasi selama periode 2009-2013.

Demikian atas dugaan menerima duit secara langsung dan tidak langsung ( gratifikasi) berjumlah Rp7,36 miliar sepanjang 2009-2011. Uang itu mengalir melalui sejumlah rekening di Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, BCA dan Citibank miliknya. Dokumen itu menyebut, aliran dana ke Zainul dalam bentuk penukaran valuta asing senilai US$1 juta.

Sementara pelanggaran kedua, melakukan pertemuan dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati di ruang kerja Kabareskrim. Pertemuan itu diluar tugas. Yang menurut Peraturan etik KPK, sangat dilarang.

Sedangkan merujuk pada TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Kurnia menegaskan, penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai, atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Karena itu, ICW memberi lima catatan atas putusan dewas menetapkan vonis sanksi ringan terhadap pelanggaran etik ketiga kalinya yang dilakukan Firli. Pertama, alasan dewas yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan, dinilai sangat tidak masuk akal. Dengan jabatan sebagai Ketua KPK, sangat tidak mungkin jika Firli tidak memahami Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Selain itu, berdasar latar belakang Firli sebagai petinggi Polri dengan pangkat bintang dua dan mantan Kapolda.

“Tindakan Firli atas pelanggaran etik yang ketiga kalinya itu, sangat berlawanan dengan nilai integritas yang selama ini kerap dikampanyekan KPK tentang hidup sederhana,” ujarnya.

Kedua, Dewas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan pada 2018. Saat itu ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal. Pun pada Pengaduan Masyarakat atas dugaan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Berdasarkan laporan tersebut, Firli kemudian dijatuhi sanksi pelanggaran berat pada September 2019 oleh Dewan Kehormatan KPK.

“Sementara dalam putusan terbaru yang ditetapkan, Dewas menyebut Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik. Keputusan itu menimbulkan dua lisme persepsi negatif. Sistem administrasi KPK yang tidak benar, sehingga hilangnya dokumentasi sanksi pelanggaran berat Firli sebagai Deputi Penindakan. Atau memang ada sesuatu yang memaksa Dewas harus memvonis Firli sebagai pelanggaran ringan atas gaya hidup hedonismenya,” katanya.

Ketiga, Dewas juga abai melihat tindakan Firli mengendarai helikopter mewah sebagai rangkaian kontroversi yang selama ini dilakukan. Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap saat akan menangkap tersangka Harun Masiku. Sampai sikap kontroversinya mengembalikan secara paksa Kompol Rossa Purbo Bekti ke Polri lewat penerbitan Surat Keputusan Sekjen KPK Nomor 123 Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Dengan hormat Pegawai Negeri yang Dipekerjakan pada KPK.

Namun akhirnya Rossa ditarik kembali sebagai pegawai KPK dengan menerbitkan Surat Keputusan Sekjen KPK Nomor 744.1 Tahun 2020 Tentang Pembatalan Surat Keputusan Sekjen KPK Nomor 123 Tahun 2020. Penarikan kembali Rossa ke KPK dengan menimbang Surat Kapolri tertanggal 3 Maret 2020 perihal Tanggapan Atas Pengembalian Penugasan Anggota Polri di lingkungan KPK guna memperkerjakan kembali Pegawai Negeri yang Dipekerjakan atas nama Rosa Purbo Bekti sampai 23 September 2020.

“Berdasar keputusan kontroversi terhadap pelanggaran administratif yang dilakukan Firli terhadap Kompol Rossa itu, seharusnya menjadi spektrum pemeriksaan Dewas yang lebih luas dan komprehensif dalam memvonis Firli atas pelanggaran etik yang dilakukan ketiga kalinya itu,” katanya

Keempat, putusan dewas terhadap Firli akan semakin membuat kondisi KPK semakin terpuruk. Sanksi ringan itu berpotensi menjadi preseden buruk, buat pegawai dan pimpinan KPK lainnya yang melakukan pelanggaran sejenis. Pasalnya tidak ada konsekuensi apapun atas vonis sanksi ringan dari Dewas tersebut. Sesuai Peraturan Dewas, sanksi ringan hanya akan berdampak pada tidak dapat mengikuti promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang digelar di dalam maupun luar negeri.

Sementera pada poin terakhir atau catatan kelima, Kurnia mengkritik peran Dewas yang lemah dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK. Dewas semestinya dapat mendalami potensi tindak pidana suap atau gratifikasi terkait penggunaan helikopter mewah tersebut. Ironisnya Dewas tidak menyebutkan dalam putusannya secara jelas, apakah Firli membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi.

“Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana,” ujarnya. (rim)

1

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini