Bongkah.id — Indonesia kembali membayar mahal akibat lambannya mitigasi keselamatan pelayaran. Insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada awal Juli 2025 menguak fakta kelam: keselamatan laut selama ini hanya menjadi prioritas setelah korban jatuh.
Imbas kebijakan mendadak pasca-tragedi, distribusi logistik nasional kini lumpuh di simpul penting: Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Antrean truk dan kendaraan barang mengular hingga 30 kilometer di jalur Pantura Situbondo. Sebagian pengemudi harus bermalam berhari-hari di tepi jalan, menanti giliran menyeberang ke Gilimanuk, Bali.
Kementerian Perhubungan lewat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menggelar inspeksi kilat terhadap armada penyeberangan. Hasilnya mengejutkan 9 dari 54 kapal dinyatakan tidak laik laut, sebagian besar eks-LCT yang selama ini diandalkan angkut logistik.
Armada yang tak laik kini “di-grounded”. Sementara itu, distribusi barang ke Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) terganggu parah. Pasokan bahan pokok tersendat, harga naik di sejumlah daerah, dan trayek bus antarprovinsi terpaksa dihentikan.
“Keselamatan memang harus ditegakkan, tapi kalau semua dilakukan setelah kapal karam, ya terlambat,” ujar seorang pengusaha logistik yang merugi ratusan juta akibat keterlambatan pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan publik: Mengapa inspeksi tak dilakukan berkala sejak lama? Mengapa sistem tanggap darurat logistik tak pernah disiapkan?
Pemerintah dinilai terlalu reaktif. Kebijakan keselamatan penting, namun mestinya disertai solusi pengganti yang menjaga arus barang tetap berjalan. Tanpa koordinasi lintas sektor, ketegasan justru berbuah kekacauan.
Apresiasi memang layak disematkan kepada TNI AL, Forkopimda, dan petugas pelabuhan yang siaga 24 jam mengatur lalu lintas kendaraan. Tapi tanpa perombakan sistemik, antrean 30 kilometer ini bisa jadi hanya awal dari krisis distribusi yang lebih luas.
Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya belajar: laut bukan sekadar jalur, tapi nadi logistik nasional. Menjaga keselamatan kapal dan kelancaran distribusi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.
Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya mestinya menjadi pelajaran terakhir, bukan justru pembuka rangkaian kepanikan birokrasi. (kim/sip)