bongkah.id ‐ Noda hitam kembali menimpa Kepolisian RI. Setelah skandal Red Notice dan Surat Jalan buronan Djoko Tjandra terbongkar. Kini dua perwira di Polda Sumatera Selatan divonis penjara 5 Tahun, oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang.
Dua perwira di Polda Sumsel yang terlibat Skandal suap penerimaan calon siswa bintara Polri 2016 itu, adalah mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid Dokkes) Polda Sumsel Komisaris Besar (Purn) Soesilo Pradoto. Dan, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Syaiful Yahya
Dalam sidang, Kamis (23/7/2020), Majelis Hakim yang diketuai Abu Hanifah menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta terhadap Kombes Pol. (Purn) Soesilo Pradoto. Vonis sama juga ditetapkan terhadap AKBP Syaiful Yahya. Pada menerima suap, Saiful menjabat sebagai Kasubbid Kespol Bid Dokkes Polda Sumsel sekaligus Sekretaris Panitia Pemeriksaan Kesehatan.
Majelis Hakim menegaskan, keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana korupsi secara bersama-sama. Mereka menerima suap sebesar Rp6,05 miliar.
Atas pelanggaran hukum yang sengaja dilakukan, Soesilo Pradoto dan Syaiful Yahya dijerat dengan Pasal 12 huruf A Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Perbuatan terdakwa dinilai dapat mencoreng nama baik institusi Polri. Perilaku keduanya memunculkan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem penerimaan Polri yang adil dan obyektif,” kata Hakim Ketua Abu Hanifah dalam sidang yang digelar virtual, Kamis (23/7).
Berdasarkan fakta persidangan, Soesilo terbukti menerima suap dari 50 calon siswa dalam penerimaan anggota brigadir polri, bintara penyidik pembantu, dan bintara umum. Dalam proses seleksi yang dilakukan pada April-Mei 2016 tersebut, Soesilo menjabat sebagai ketua panitia tes kesehatan.
Praktek suap tersebut, kata Abu Hanifah, telah diatur sejak awal. Siswa yang lulus seleksi penerimaan bintara Polda Sumsel diwajibkan membayar. Masing-masing sebesar Rp250 juta. Sementara untuk bisa lulus tes bidang kesehatan, Soesilo mematok harga Rp20 juta per orang.
“Semua calon yang ingin meminta bantuan, harus berkoordinasi dengan AKBP Syaiful Yahya. Terdakwa Saiful pun berkoordinasi dengan panitia bidang lain. Yakni bidang tes akademi, jasmani, dan psikologi. Modus operandinya dengan menitipkan nomor peserta, yang perlu diluluskan. Pasalnya peserta sudah membayar sejumlah uang,” tambah Hanifah.
Dari 50 orang calon siswa yang memberikan suap hingga berjumlah Rp6,05 miliar itu, hanya 25 orang yang lulus. Kepada 25 orang yang tidak lulus, uangnya dikembalikan Syaiful. Namun nilainya hanya Rp350 juta. Sisa uang suap masih di tangan Saiful.
Dari hasil suap tersebut, Soesilo terbukti menerima Rp3 miliar dari Saiful. Selain itu sebesar Rp350 juta dari salah satu anggota panitia berinisial dr MS. Uang itu dianggap sebagai dana operasional Soesilo sebagai ketua panitia.
Sementara sisa uang lainnya diserahkan kepada ketua panitia bidang psikologi. Inisial ED sebesar Rp 1 miliar. Juga, ketua panitia bidang jasmani berinisial TA sebesar Rp300 juta. Sedangkan ketua tim panitia tes akademik, hanya berupa barter.
“Tidak ada hal yang meringankan karena perbuatan kedua terdakwa dapat mencoreng nama baik institusi Polri dan memunculkan ketidakpercayaan generasi muda untuk mengikuti tes penerimaan Polri ke depannya. Padahal penerimaan Polri bisa dilangsungkan secara adil dan objektif,” katanya.
Atas kasus tersebut pengadilan menyita sejumlah barang bukti, seperti uang hasil suap sebesar Rp2,2 miliar yang dirampas untuk negara.
Sementara Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Palembang Dede Muhammad Yasin sebagai jaksa penuntut umum memutuskan, untuk pikir-pikir atas putusan hakim tersebut. Dede mengatakan ada perbedaan antara pasal yang diputuskan hakim dengan tuntutan jaksa.
“Pada putusan hakim menggunakan pasal 12 sedangkan pada tuntutan jaksa menggunakan pasal 5. Putusan hakim pun lebih tinggi satu tahun dari tuntutan jaksa 4 tahun penjara. Setelah berkoordinasi dengan pimpinan, kami akan mengambil langkah hukum lanjutan,” kata Dede. (rim)