bongkah.id — Proses pembelajaran tatap muka di sekolah saat pandemi Covid-19, dipastikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai Juli 2021 atau semester ganjil. Proses pembukaan dilakukan secara bertahap.
Demikian Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/2/2021).
Kendati demikian, Jumeri tak menjelaskan tahap pembukaan sekolah tersebut. Dia hanya mengakui, pembelajaran tatap muka ini sekaligus berfungsi sebagai kampanye protokol kesehatan di sekolah bagi guru maupun siswa. Karena itu, Kemendikbud mewajibkan pihak sekolah menyiapkan standar operasional maupun fasilitas untuk menjaga kesehatan lingkungan.
“Masa pembelajaran tatap muka digunakan untuk kampanye menjaga kesehatan bagi guru dan siswa, galakan penyuluhan kepada siswa agar meningkat kesadarannya akan protokol kesehatan,” katanya.
Ditegaskan, pihak sekolah yang membuka proses pembelajaran tatap muka diwajibkan menjalin kerja sama dengan fasilitas kesehatan terdekat. Termasuk komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid secara intensif.
Ironisnya obsesi pemerintah tersebut, bertolak belakang dengan sikap para orang tua murid. Yang tak serta-merta mengizinkan anaknya mengikuti kegiatan belajar tatap muka di sekolah, meski para guru telah divaksinasi Covid-19.
Pendapat yang disampaikan Suprapti, orang tua dari dua anak yang duduk di bangku SD dan SMP di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, tetap sangat menghawatirkan kesehatan anaknya untuk mengikuti pendidikan tatap muka di sekolah, meski para gurunya sudah divaksinasi. Ini karena masih terus naiknya kasus positif Covid-19 di Surabaya pada saat ini.
“Sekarang grafik pertumbuhan kasus Covid-19 masih dinamis. Naik dan turunnya belum mampu dikendalikan Suprapti saat ditemui di rumahnya di wilayah Darmo Permai, Surabaya.
Sementara Suprapti sendiri mengaku, tak begitu percaya dengan efektivitas vaksin Covid-19. Ini karena proses pembuatannya yang terbilang singkat. Ia juga menyoroti proses uji klinis vaksin yang bahkan belum sepenuhnya selesai.
Bahkan, dia kemungkinan besar, tak akan mengizinkan kedua anaknya divaksin kalau nantinya sudah ada vaksin Covid-19 untuk anak. Ia masih khawatir akan efek samping, kepastian keamanan dan jaminan efektivitas vaksin.
“Kalau vaksin cacar, itu sudah bertahun-tahun dikembangkan dan diuji coba, dan tidak pernah ada masalah. Ini kan penyakitnya aja baru 2019. Vaksin baru ada beberapa bulan terakhir, kita masih khawatir,” katanya.
Kekhawatiran serupa juga menghantui Denborah. Ibu dari anak usia 4 tahun yang seharusnya masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tahun ini. Ia belum memasukkan anaknya ke PAUD, karena pandemi Covid-19 belum berakhir.
Ketika tahu pemerintah akan memvaksin 5 juta guru tahun ini, Deborah tak lantas mengizinkan anaknya untuk daftar PAUD. Bahkan ia mempertimbangkan homeschooling atau sekolah di rumah sebagai alternatif belajar. Pilihan itu dilakukan sebagai sikap preventif orang tua terhadap anaknya.
“Soalnya kalau yang divaksin cuma guru-gurunya doang, sementara kondisi anak-anak yang masuk sekolah kan belum pasti. Bagaimana jika ada beberapa anak yang terpapar Covid-19 tanpa gejala, selanjutnya dia menularkan virus tersebut pada teman-teman kelasnya?” kata Deborah.
Menurut dia, anak di jenjang PAUD belum bisa dipastikan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, sehingga masih ada risiko penularan virus. Sementara itu, ia juga khawatir pembelajaran tidak efektif jika dilakukan secara daring.
Selain itu, dia menyinggung biaya sekolah yang masih mahal walau dilakukan daring di tengah pandemi seperti saat ini. Karena itu, dia dan beberapa rekannya mulai mempertimbangkan opsi homeschooling atau sekolah di rumah.
“Kalau homeschooling online itu ada dan katanya biayanya jauh lebih murah. Fakta itu sudah dilakukan temanku. Anaknya yang sekolah di SD swasta dikeluarkan. Selanjutnya anaknya didaftarkan untuk homeschooling dengan biaya lebih murah. Karena itu, saya akan meniru pilihan temanku itu,” katanya.
Selain orang tua, ternyata kalangan guru juga mengaku sanksi jika vaksin menjadi jaminan pemerintah membuka kembali sekolah pada pertengahan tahun ini. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Martha Tanjung mengatakan, aktivitas belajar tatap muka bukan cuma melibatkan guru.
Menurut dia, belum pastinya program vaksinasi bagi siswa menjadi unsur utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Ini karena siswa akan banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitar sekolah yang belum terjamin keamanannya.
“Ketika sekolah buka aksesnya macam-macam. Ada proses antar jemput anak, kantin sekolah dibuka, anak-anak berkerumun di luar sekolah, di terminal,” katanya.
Dikatakan, ada berbagai pertimbangan yang seharusnya ditetapkan pemerintah dalam memutuskan pembukaan sekolah. Mulai dari kesiapan sekolah dan siswa menerapkan protokol kesehatan, vaksinasi untuk siswa, hingga protokol kesehatan di luar lingkungan sekolah.
Dasar kritikan itu, karena efektivitas vaksin yang belum bisa dibuktikan pada program vaksinasi yang sudah berjalan. Dikhawatirkan warga sekolah terhadap covid-19 tak jadi luntur, hanya karena vaksin.
“Saya kira terlalu prematur kita berharap pembelajaran bisa dilaksanakan awal Juli 2021 tatap muka,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap sekolah tatap muka dibuka mulai Juli 2021. Setelah selesainya program vaksinasi Covid-19 terhadap tenaga pendidik serta guru. Pemerintah menargetkan 5 juta guru disuntik vaksin hingga Juni 2021.
“Tenaga pendidik dan kependidikan, guru, kita berikan prioritas agar nanti di awal semester dua pendidikan tatap muka bisa mulai kita lakukan,” kata Jokowi dalam siaran langsung yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (24/2/2021).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan protokol kesehatan bakal tetap dilaksanakan meskipun pembelajaran dilakukan tatap muka. Ia memprioritaskan vaksin diberikan untuk guru PAUD dan SD karena dinilai paling terkendala belajar jarak jauh. (rim)