
bongkah.id — Di tengah rutinitas padat kota yang terus bergerak, Pemerintah Kota Surabaya menghadapi satu persoalan yang butuh perhatian khusus yakni munculnya praktik prostitusi terselubung di rumah kos sekitar eks lokalisasi Dolly.
Situasi ini membuat Pemkot bersama DPRD bergerak cepat menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang rumah kos, sebuah regulasi yang diharapkan mampu menjadi pagar moral baru bagi lingkungan permukiman.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa penindakan baru-baru ini tidak terjadi di inti kawasan Dolly. Justru, praktik tersebut ditemukan di rumah kos yang berada pada radius luar kawasan yang kini telah berkembang menjadi sentra UMKM.
“Dolly-nya clear, aman. Di sana sudah ada sentra usaha seperti sentra sepatu. Yang kemarin ditindak oleh petugas itu adanya praktik di kos-kosan,” ujar Eri di Balai Kota Surabaya, Jumat, 21 November 2025.
Keterangan itu seolah ingin menegaskan bahwa upaya mengubah Dolly menjadi ruang usaha dan wisata edukasi bukan sekadar formalitas. Namun, area sekitar Dolly ternyata masih menyisakan celah yang dimanfaatkan oknum tertentu.
Dari hasil razia, petugas menemukan bahwa sebagian besar pelaku bukan warga Kota Surabaya. Mereka hanya singgah sementara untuk mencari penghasilan.
“Kami cek dulu mereka warga Surabaya apa bukan. Kalau warga Surabaya akan kami bina supaya tidak mengulangi lagi, tapi kalau bukan ya kami koordinasikan dengan daerah asal,” jelas Eri.

Proses pembinaan dilakukan di shelter milik Pemkot sebagai tahap awal sebelum pemulangan.
Salah satu poin krusial dalam Perda ini adalah pelarangan rumah kos campur antara laki-laki dan perempuan di kawasan permukiman. Aturan ini bukan hanya soal teknis, tapi juga tentang menjaga ketertiban sosial di lingkungan yang warganya hidup berdampingan setiap hari.
“Kalau di permukiman, kos tidak boleh bercampur. Anak-anak kecil bisa meniru. Kos laki-laki harus laki-laki semua, perempuan ya perempuan semua,” tambah Eri.
Di balik pernyataan itu tersirat kekhawatiran tentang efek jangka panjang bagi generasi muda jika kawasan tempat mereka tumbuh tak dijaga dengan baik.
Tak hanya bertumpu pada aturan, Pemkot Surabaya berharap warga juga turut menjadi mata dan telinga bagi lingkungannya. Pemilik kos diminta lebih selektif menerima penyewa, sementara masyarakat diminta waspada bila melihat aktivitas yang tidak semestinya.
“Kami minta warga aktif menjaga kampungnya dan melapor kalau ada gelagat mencurigakan,” tegas Eri.
Permintaan itu menggambarkan bahwa menjaga keamanan kota bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama sebagai komunitas.
Di sisi lain, Pemkot tak ingin perubahan Dolly berhenti begitu saja. Dinkopumdag diminta mengevaluasi jenis komoditas di Sentra Wisata Kuliner dan UMKM agar sesuai kebutuhan pasar. “Kalau sepi, komoditasnya harus diubah. Harus ikut pasar,” Eri menegaskan.
Sementara itu, wisata edukasi di kawasan Dolly akan digerakkan oleh Karang Taruna dan pemuda setempat, bukan oleh pemerintah.
“Pemuda harus ikut memiliki dan menjaga. Mereka yang gerakkan, bukan Pemkot,” katanya.
Melalui Perda rumah kos dan pengawasan berlapis, Pemkot Surabaya berharap bisa menutup celah yang selama ini dimanfaatkan untuk prostitusi terselubung.
Lebih dari sekadar aturan, Perda ini menjadi bentuk upaya untuk memastikan lingkungan permukiman kembali menjadi ruang yang aman bagi keluarga, anak-anak, dan kehidupan sosial yang sehat.
Di tengah dinamika kota, Surabaya kembali menata diri, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dari sisi moral dan keamanan warganya. (anto/wid)


























