bongkah.id – Angka penularan virus Corona Wuhan (Covid-19) di Indonesia masih menunjukkan angka peningkatan tinggi. Data terkonfirmasi Satgas Covid-19 per 21 Mei 2020 pukul 16.17 WIB, terjadi penambahan pasien positif sebanyak 973 kasus. Sebuah angka pertumbuhan tertinggi selama ini. Kondisi itu mencerminkan Indonesia masih berada dalam keadaan darurat bencana.
Pasien positif Covid-19 terkonfirmasi telah mencapai 20.162 pasien. Mengalami pertambahan 973 kasi dibanding tanggal 21 Mei. Pasien dirawat sebanyak 14.046 orang atau 69,666% dari pasien terkonfirmasi. Pasien yang sembuh sebanyak 4.838 orang (23,996% dari terkonfirmasi). Sementara pasien yang meningal telah mencapai 1.278 orang (6,339% dari terkonfirmasi).
Sementara provinsi yang menempati lima besar terpapar Covid-19 adalah DKI Jakarta dengan jumlah 6301 kasus, yang sembuh 1.458 pasien dan 481 pasien meninggal). Diikuti Jawa Timur (Terkonfirmasi 2998 kasus, 403 sembuh, dan 241 meninggal), Jawa Barat (Terkonfirmasi 1962 kasus, 422 sembuh, dan 124 meninggal), Jawa Tengah (Terkonfirmasi 1217 kasus, 255 sembuh, dan 70 meninggal), dan Sulawesi Selatan di peringkat kelima dengan 1135 kasus terkonfirmasi, 398 sembuh, dan 59 meninggal.
“Berdasar data penularan Covid-19 yang terkonfirmasi, BNPB tetap menyatakan Indonesia masih status darurat bencana nasional. Belum aman dan berpotensi mengalami peninggkatan signifikan. Status darurat bencana nasional itu masih berlaku, meski keadaan tertententu darurat bencana yang ditetapkan BNPB akan berakhir 29 Mei mendatang,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melalui pesan digital pada Jumat (22/05/2020).
Peraturan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo mengenai Penetapan Status Bencana Nonalam COVID-19 sebagai Bencana Nasional, ditegaskan Kepala BNPB ini, belum berakhir. Presiden menetapkan status penularan Covid-19 itu, tersurat dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Bencana Nonalam COVID-19 sebagai Bencana Nasional.
“Secara otomatis, status keadaan darurat bencana menyesuaikan dengan Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Selama Keppres belum diakhiri, maka status kebencanaan masih berlaku,” ujar Danjen Kopassus 2014-2015 ini.
Status keadaan darurat ini, menurut dia, sangat bergantung pada dua indikator utama yang disebutkan dalam keppres. Pertama, penyebaran virus yang masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah terdampak dan implikasi pada aspek sosial-ekonomi.
Dilihat dari konteks penyebaran, Gugus Tugas Nasional mencatat angka kasus positif Covid-19 masih bertambah signifikan. Besarnya kasus dalam sebulan terakhir menunjukkan penularan terjadi pada transmisi lokal. Ini berarti menunjukan infeksi virus yang terdeteksi di tingkat lokal kian tinggi. Status ini harus kian diwaspadai oleh para kepala daerah.
Sementara yang kedua, terkait dengan status global pandemik yang ditetapkan WHO, Badan PBB untuk Kesehatan Dunia, sejak 11 Maret 2020 lalu. Dengan status tersebut, maka keadaan darurat di wilayah nusantara ini juga terpengaruh. “Selama pandemi global belum berakhir, WHO belum mencabut penetapan status global, dan vaksin serta obatnya belum ditemukan, maka masih diperlukan penetapan status bencana nasional untuk Covid-19 di Indonesia,” ujar alumni Akmil 1984 ini.
Selain itu, tambahnya, status yang diberlakukan juga menggunakan parameter seperti jumlah korban dan kerugian ekonomi yang meningkat setiap harinya, cakupan wilayah terdampak yang semakin meluas, serta dampak lain yang ditimbulkan selain ancaman di bidang kesehatan, yaitu di bidang sosial, ekonomi, keamanan, ketertiban, dan politik. Kebijakan itu sesuai Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Pasal 1 disebutkan epidemi dan wabah penyakit termasuk dalam bencana nonalam.
“Berlakunya status bencana nasional itu sebagai cermin, bahwa negara hadir untuk melindungi warga negaranya secara nyata dan konsisten terhadap bahaya terpapar virus Corona,” katanya. (ima)