
bongkah.id – Upaya mempercepat reformasi Polri kembali menguat setelah Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI menggelar audiensi terbuka bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di Lounge Adhi Pradana, STIK-PTIK Lemdiklat Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Pertemuan ini dipimpin Ketua Komisi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dan menjadi momentum penting memperluas ruang dialog antara negara dan publik mengenai masa depan kepolisian.
Dalam keterangannya kepada media, Prof. Jimly menegaskan bahwa reformasi Polri tidak dapat dilakukan secara tertutup. Aspirasi publik, terutama dari kelompok pemerhati HAM, dinilai krusial sebagai bahan perumusan kebijakan.
”Semua masukan dari NEFA, LSAM, Imparsial dan kelompok masyarakat lainnya sangat konstruktif. Namun kami meminta agar masukan tersebut diperdalam lagi secara tertulis dalam satu bulan ke depan, termasuk menyertakan opsi solusi,” ujarnya.
Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian dibentuk melalui Keppres No. 122/P Tahun 2025 dengan mandat melakukan evaluasi menyeluruh atas kewenangan, fungsi, serta tata kelola Polri.
Komisi beranggotakan tokoh lintas bidang yang selama ini dikenal memiliki rekam jejak panjang dalam hukum, keamanan, dan pemerintahan, yakni:
Daftar anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI antara lain, Prof. Jimly Asshiddiqie – Ketua merangkap anggota. Ahmad Dofiri, Prof. Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Supratman Andi Agtas, Otto Hasibuan, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Jenderal (Purn) Tito Karnavian, Jenderal (Purn) Idham Azis, Jenderal (Purn) Badrodin Haiti.
Kehadiran jajaran tokoh tersebut mencerminkan cakupan kerja yang luas sekaligus kompleksitas tantangan yang dihadapi. Namun di luar proses audiensi, kritik terhadap kondisi Polri menguat dari kalangan akademisi.
Disorientasi Kepolisian
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Isnaini SIP MPA, menilai disorientasi kewenangan Polri merupakan konsekuensi dari perluasan otoritas yang termaktub dalam UU No. 2/2002.
“Fungsi Polri melebar ke wilayah yang tidak relevan, seperti pengamanan investasi dan tumpang tindih penyelidikan korupsi. Ini bukan ciri polisi sipil,” tegasnya.
Isnaini juga menyoroti keberadaan unit semi-militer seperti Brimob dan Densus 88, yang menurutnya lebih tepat berada di bawah struktur pertahanan negara.
“Jika reformasi ingin menyentuh akar masalah, Polri harus dikembalikan ke paradigma civilian police yang fokus pada penegakan hukum kriminal, ketertiban umum dan penanganan kejahatan digital,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Jimly menekankan bahwa reformasi Polri bukan semata perubahan aturan, tetapi juga pembenahan mentalitas dan etika jabatan. Ia mencontohkan pentingnya menata ulang sistem etik bernegara melalui lembaga kode etik yang lebih independen.
“Hukum menghukum, tetapi harus ada etika mendidik. Jika tidak bisa diperbaiki, diberhentikan. Itu untuk menjaga kepercayaan publik,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Komisi berharap sinergi Polri–masyarakat sipil menjadi fondasi perumusan kebijakan yang lebih presisi, transparan, dan mampu menjawab lemahnya legitimasi kepolisian pasca 25 tahun Reformasi.
Dengan kewenangan besar yang melekat pada institusi Polri, evaluasi menyeluruh bukan hanya kebutuhan tetapi keharusan demi memulihkan kepercayaan publik serta memastikan negara berjalan sesuai prinsip civilian supremacy dalam demokrasi modern. (kim/wid)

























